180°
Main Cast : Kim SungKyu, you, Nam WooHyun (cameo)
Author : Nisaaa281827
Genre :
Sad, angst, a little bit romance
Length :
Oneshot (3000-4000+ words)
Foreword :
Hai! Foreword kali ini ditulis oleh Author Carolin yang
pengen ikut mejeng di ff-nya Author Nisa. Wkwkwk, jangnanman(cuma becanda)~
hanya… ingin mengucapkan terimakasih untuk… *sok drama* yah~intinya
makasih buat Author Nisa yang udah mau berkarya buat blog ini. Nggak sia-sia,
Sa! (ceritanya ngomong sama Author Nisa) ff-mu overviewnya banyak lho~selamat
dan terussssslah berkarya!
“Jangan
dekati aku!!!” teriakku. Aku baru saja pulang dari kafe tempatku mengambil part time shift malam dan baru sampai di
rumahku, lalu mendapati gadis itu. _____, yang sedang menunggu lelakinya yang
entah kenapa selalu memintanya untuk menjauhinya, bahkan menyentuhnya. Itulah
aku. Kim SungKyu.
“Ah,
arasseo… Kalau kau belum makan, aku sudah menyiapkan makanan kesukaanmu di meja
makan. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya. Istirahat yang cukup,” ucapnya pelan,
lalu berjalan menuju pintu rumahku, tapi ia sempat membalikkan badannya dan
membungkukkan badannya padaku. “Annyeonghi jumuseyo, Kim SungKyu. Semoga
tidurmu nyenyak,” pamitnya, lalu mulai pergi dari rumahku.
Seperti
itulah hubungan kami.
Seperti
aku tuannya dan ia budakku.
Dan
aku selalu menyesali hubungan kami yang seperti ini. Tapi, entah mengapa aku
malah menjadi seperti ini pada _____. Awalnya hubungan kami berjalan dengan
lancar dan selalu penuh canda tawa kami, tapi beberapa bulan belakangan ini
sifatku berubah. Dan setiap kali ia bersikap seperti itu, aku selalu merutuki
diriku sendiri karena perbuatanku padanya. Beberapa bulan yang lalu saat aku
mulai bersikap dingin padanya, ia selalu ingin pergi dariku. Tapi, aku selalu
memintanya kembali dan berjanji untuk tidak bersikap seperti itu padanya.
But the truth was always the opposite from
what I said.
And those promises too.
Aku
berjalan gontai menuju meja makanku, lalu seperti yang ia katakan, di meja
makanku telah terhidang makanan kesukaanku. Aku menemukan secarik kertas di
dekat piring makanan tersebut. Karena penasaran, aku mengambil kertas itu dan
membacanya.
“Kim SungKyu-ssi, aku telah menyiapkan makananmu. Aku akan makan di rumahku saja, aku
belum lapar. Jaga dirimu baik-baik dan istirahat yang cukup.
______”
Bahkan
ia memanggilku dengan nama lengkapku dan –ssi,
seperti tidak mengenal satu sama lain. Geundae…,
Dia
belum makan?
“Ah
ahjussi, tadi _____datang ke sini jam
berapa?” tanyaku pada seorang ahjussi pelayan
yang kebetulan lewat di depan meja makan. Ia menghentikan langkahnya, lalu
menoleh ke arahku dengan tersenyum tipis—atau mungkin tersenyum sedih. “Sekitar
jam 4 sore tadi, ia memasak mati-matian untukmu,” jawabnya singkat, lalu
membungkukkan badannya dan menghilang dari pandanganku.
Ia
tidak makan dari jam 4 sore?
Sampai
jam 10 malam ini?
Yang
benar saja!
Aku
merogoh saku celanaku, lalu mengeluarkan ponselku, mencari kontak ______ dan
berusaha menelponnya. “Sialan,” umpatku pelan saat yang menjawab adalah
operator. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengirimnya pesan.
To:
______
Subject:
-
Yah,
kau belum makan dari jam 4 sore tadi? Cepat makan dan jaga dirimu baik-baik.
Pikirkan juga dirimu sendiri.
SungKyu
“Massitta,” gumamku pelan saat aku
memakan makanan hasil masakan ______.
^^^^^^^^^^^
“_______
tidak masuk hari ini, katanya sakit,” jawab salah seorang siswi teman sekelas
______ saat aku mengunjungi kelas ______. “Gadis sialan itu,” umpatku pelan.
“Ah ye, kamsahamnida,” ucapku, lalu membungkukkan badanku dan berjalan menuju
kelasku.
“Siapa
suruh ia tidak makan tadi malam” gumamku kesal dalam perjalananku menuju ke
kelasku. Hingga aku mendapati seseorang sedang memanggilku dari belakang. Aku
menoleh ke belakang dan aku melihat DongWoo dan SungYeol yang berlari ke
arahku.
“SungKyu-yaaaaa!!!!”
teriak DongWoo.
“Mwo?”
tanyaku pendek, memasang wajah jutek. DongWoo dan SungYeol mencoba untuk
mengatur napas mereka sebelum menjawab pertanyaanku hingga SungYeol angkat
bicara. “______ di rawat di rumah sakit tadi pagi,” jawab SungYeol.
“Eh?”
^^^^^^^^^^
“Sillyehamnida, hajiman, kamar inap nomor berapa pasien _____ di rawat ya, suster?”
tanyaku saat aku sampai di rumah sakit umum Seoul. Aku menanyakan nama rumah
sakitnya pada SungYeol dan DongWoo, tapi aku lupa menanyakan kamar inapnya.
Suster itu menatapku, tidak menjawab pertanyaanku. Tapi, ia malah melontarkan
pertanyaan lain. “Anda siapanya pasien ______?” tanyanya. Aku menatapnya malas,
lalu mulai menjawab. “Aku pacarnya,” jawabku, malas berbasa-basi. Suster itu
tersenyum, lalu membuka bukunya dan menyebutkan nomor kamarnya. “Geuraesseumnida, kamsahamnida,” ucapku, membungkukkan badanku, dan melangkahkan
kakiku menuju lift.
“Annyeonghaseyo,” sapaku pelan saat aku
sampai di kamarnya.
Sepi.
Hanya
ada dirinya seorang, di temani selang infus yang menempel di pergelangan tangan
putih tirusnya itu dan fasilitas kamar rumah sakit ini. Ia sedikit kaget saat
tahu yang menjenguknya adalah aku, tapi ia cepat mengubah ekspresinya dan
menyapaku dengan formal.
“Oh,
Kim SungKyu-ssi. Geugeoseun mwo?” sapanya sambil memasang senyum tipis padaku. Aku
yang merasa jengah dengan panggilan itu langsung membuka mulutku.
“Jangan
memanggilku seperti itu. Aku menjengukmu, kenapa kau tidak makan tadi malam?
Aku kan sudah mengirimimu pesan,” ujarku sembari berjalan menuju tepi
ranjangnya. Ia seperti kaget saat aku mengetahui ia tidak makan tadi malam,
tapi aku bersikap biasa saja, lalu duduk di kursi di dekat ranjangnya.
“Mianhae, tadi malam ponselku sedang low dan aku lupa menchargenya, jadi aku belum mengeceknya,” jawabnya dengan pelan dan
nada bersalah.
“Gwaenchanha. Mau makan?” tawarku. Ia
menggeleng.
“Wae?” tanyaku.
“Makanan
rumah sakit tdak enak,” jawabnya pelan.
“Geuraeyo, akan kubelikan, tapi kau harus
makan.”
^^^^^^^^^^^^
“Aaaaa~,”
abaku sambil menyendokkan makanannya. Ia membuka mulutnya, lalu memakannya
meskipun terlihat agak enggan untuk memakan makanan yang baru saja kubelikan. “Massitta?” tanyaku. “Massitta,” jawabnya. Aku hanya tersenyum
tipis, lalu menyendokkan kembali makanannya sembari menunggunya menelan makanan
yang ada di dalam mulut kecilnya itu.
“Uhuk
uhuk!”
Tiba-tiba,
______ tersedak.
“Ah,
neon gwaenchan—“ aku yang sudah
mengambilkannya segelas air dan berjalan sedikit tergesa untuk kembali ke
ranjangnya smabil menanyakannya dengan nada khawatir harus menghentikan
pertanyaanku ketika melihat ada sedikit noda darah di telapak tangannya.
Soljikhi, dia sakit apa?
“Nan gwaenchanha, SungKyu-ssi…,” elaknya pelan. Aku menoleh ke
arahnya dengan tatapan sedikit kesal, lalu mulai membalasnya. “Jangan panggil
aku seperti itu dan jangan mengelak. Diamlah,” ucapku, lalu menekan tombol bel
untuk memanggil suster bila ada gawat darurat. Satu menit setelah aku menekan
tombol bel itu, seorang suster datang dan aku langsung menjelaskan yang barusan
terjadi dengan tergesa-gesa.
Tergesa-gesa
karena aku mengkhawatirkannya.
Mengkhawatirkan
______.
Tapi,
itu hanya di dalam hatiku.
Diri
ini tidak.
Dengan
tergesa-gesa lagi, aku menyuruh suster itu untuk memanggil dokter yang
menangani _____ agar segera memeriksakan keadaannya.
Dan
agar aku dengan segera mengetahui keadaan dirinya yang ia sembunyikan dariku.
^^^^^^^^^
“Soljikhi, uisa-nim, dia sakit apa?”
tanyaku pada sang dokter. Ia hanya menatapku lamat, sebelum ia mulai
menjelaskannya. “Ia tidak mau memberitahukan penyakitnya pada siapa pun.
Ngomong-ngomong, Anda siapanya pasien?” tidak dokter ini maupun suster yang ada
di depan tadi, selalu membuat basa-basi yang sama.
“Jeoneun geunyeo namchin,” jawabku dengan
malas.
“Jeongmalyo? Kalau begitu, akan
kuberitahukan saja gejalanya apa. Dia tidak bisa memakan makanan berbumbu
ataupun berminyak dan jika ia tidak makan, itu akan berakibat buruk, karena
akan membuatnya batuk yang mengeluarkan darah. Aku harap kau bisa menjaganya
dengan baik. Oh ya, jangan biarkan dia terluka sedikit pun, itu dapat
membahayakan nyawanya. Dan selalu awasi dia karena dia mempunyai penyakit yang
dapat membunuhnya kapan saja. Jal, jeoneun sillyehamnida,” jelas dokter
itu, menepuk sebelah pundakku, dan pergi meninggalkanku.
Tapi,
aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan tadi.
Aku
kembali masuk ke dalam kamar inap ______, dan ia menatapku dengan tatapan
kosong. “Apa yang sedang kau bicarakan tadi, SungKyu?” tanyanya, masih
menatapku kosong. Aku menggelengkan kepalaku.
“Eobseoyo.”
^^^^^^^^^
“______-ah!!!”
jerit teman-teman perempuan sekelasnya, menghampiri ______ yang sedang terkulai
lemas karena pingsan mendadak di lapangan saat pelajaran olahraga. Aku yang
sedang berjalan melewati lapangan langsung menoleh begitu namanya terdengar
olehku dan langsung berlari ke arah lapangan. Tapi, yang kudapati adalah diriku
yang sebelumnya khawatir padanya malah jadi bersikap biasa saja.
“Geugeoseun mwo?” tanyaku. Aku hanya
memasang muka datar dan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana
seragamku—bersikap kasual padahal sebenarnya aku sangat khawatir dengannya. Namjachingu macam apa aku ini?!
“Oh?
Kau Kim SungKyu itu kan?” tanya salah seorang siswa yang sedang menatapku
dengan tatapan aneh (menurutku). Aku hanya menganggukkan kepalaku, lalu
menjawab.
“Ne. Waeyo?”
tanyaku balik, masih bersikap kasual dengannya. Ia berjalan ke arahku dengan
langkah berat, teman-teman laki-lakinya yang ada di belakangnya telah
memperingatkannya untuk tidak bertindak macam-macam, tapi ia tetap nekat
melangkah ke arahku.
“Kau
itu namjachingunya, kenapa perilakumu
terhadap _____ seperti itu, hah?!”
BUAAAAGH!!!!
Sebuah
tinjuan mendarat halus di pipi putihku. Aku langsung jatuh tersungkur,
sementara siswa itu tetap memandangku dengan lirikan sebal. Aku meraba sudut
bibirku, terdapat sedikit darah di sana. Aku tersenyum licik sambil menyeka
darahku, lalu berdiri. Sementara siswa itu mulai mengangkat tubuh _______ kecil
nan lemah itu dengan bridal style dan
membawanya ke klinik sekolah. Harusnya aku yang melakukan itu!
Ia
menghentikan langkahnya sebentar, lalu menoleh ke arahku. “Seharusnya ______
meninggalkan lelaki sepertimu,” desisnya sebal, lalu kembali berjalan menuju ke
klinik sekolah, sementara teman-teman _______ melihatku dengan tatapan sebal
dan prihatin. Karena tidak suka diperhatikan seperti itu, aku mulai berteriak
pada mereka.
“Kalau
kalian tidak suka, bilang saja!!!” teriakku, lalu berlari menuju kelasku.
Hatiku
telah beku, aku tidak peduli dengan siapapun. Aku hanya peduli dengan _____,
meskipun yang peduli hanyalah hati dan pikiranku, diri ini tidak.
“Hahaha!
Yang benar saja…,” aku mendengar suara tawa seseorang yang sangat kukenal saat
aku melewati klinik sekolah dekat tangga yang menyambungkan antara lantai satu
dan lantai dua.
_______.
Aku tidak pernah mendengar suara tawanya lagi
sekarang. Dan baru kali ini aku kembali mendengar tawaannya itu. Aku menghentikan
langkahku, lalu berhenti di depan pintu klinik dan menguping pembicaraan mereka
(mohon jangan ditiru). Aku masih bisa mendengar suara siswa yang menolong _____
tadi. Ternyata dia belum pergi ya. ______ memang pantas mendapatkan lelaki
seperti dia, yang selalu menemani dan menjaganya setiap saat, tidak sepertiku
yang selalu bertindak mengikuti ego, dan selalu tidak bertindak secara langsung
terhadap pacarnya jika pasangannya sedang terluka atau ada masalah.
“______-ah,”
aku mendengar siswa itu memanggil ______ dengan pelan. “Ye?” tanya ______,
masih diselingi tawanya yang pelan. “Apakah kau mencintai pacarmu itu?” tanya
siswa itu yang membuatku tertegun dan membuat _______ berhenti tertawa.
“Aku
selalu berkata pada diriku sendiri jika aku bukan yeojachingunya karena perlakuannya padaku…,” gumam _______ yang
masih bisa kudengar. “Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri jika aku
mencintainya meskipun perilakunya seperti itu,” lanjut _______ pelan. Aku
langsung membeku di tempatku.
Ia….,
mencintaiku…?
Aku
serasa diangkat ke langit begitu mendengar perkataannya. Senyumku mulai
berkembang di wajahku. Aku harus bisa membuatnya bahagia. Aku berdehem pelan,
lalu kembali melanjutkan mendengar percakapan mereka. Aku mendengar namja itu mendesah, lalu mulai berujar
lagi pada ______.
“Haaah baiklah… Tapi ______-ah, aku ingin mengatakan sesuatu…,”
ucapnya pelan. “Mwo?” tanya ______.
“Aku menyukaimu, tapi sudah lama sih… Geunde,
kau milik si Kim SungKyu sialan itu…,” akunya yang membuatku dan ______ lagi-lagi
tertegun, lalu namja itu melanjutkan
kembali kata-katanya, “Kau memiliki penyakit pembunuh itu kan?” Tidak ada
jawaban dari ______, dan selang dua menit ia baru menjawabnya. “Eh…, ah…, kamsahamnida karena telah menyukaiku…
Benar, dari mana kau mengetahui tentang itu?” tanya ______ dengan nada bingung
dan kikuk. “Itu tidak penting… Tapi, izinkanlah aku untuk selalu berada di
sampingmu, untuk berjaga-jaga sih jika penyakitmu kambuh,” pinta namja itu.
Dan jawaban ______ membuatku lemas.
“Baiklah…. Kim SungKyu-ssi itu tidak pernah menjagaku barang
satu detik saja.”
^^^^^^^
Malamnya
aku tidak bisa tidur. Aku malah menjadi sakit karena perkataan ______ tadi
siang yang membuatku harus pulang ke rumah saat pelajaran Cha seonsaengnim berlangsung dan aku harus
izin tidak masuk kerja shift malamku
pada bos kafe tempatku bekerja. Dan kata-katanya itu masih terekam jelas dalam
ingatanku.
“Baiklah….
Kim SungKyu-ssi itu tidak pernah menjagaku barang satu detik saja.”
Tok
tok!
Seseorang
mengetuk pintu kamarku. Aku yang terbaring lemas ini pun tidak bisa
membukakannya pintu. “Nuguyo?”
tanyaku dari dalam.
“Igeoseun na, ______.”
______
yang datang rupanya. Rasanya aku ingin menangis jika mendengar suara pelannya
dan keadannya yang seperti itu. “Kau tidak akan menjagaku seperti aku yang
selalu tidak menjagamu. Kau ingin menjengukku, kan? Pergilah,” ujarku, aku
merasa tidak pantas jika aku membuatnya tersakiti lagi dengan keadaannya yang
seperti itu.
“Kim
SungKyu, jebal…”
“Aniyo… Aku tidak mau kau tersakiti
lagi…”
“Ah…!
Ah…, pil…, pilku…, eodiya…?”
“______-ah!”
Suara
namja yang menemaninya tadi di klinik
sekolah. Ternyata ia mengantarkan ______ ke sini. Aku ingin menolongnya. Ingin
sekali menolongnya. Tapi, tubuh ini terasa berat untuk bergerak menolongnya.
“______-ah, gwaenchanha?
Dimana tabung pilmu?” tanya namja itu
panik. Tidak ada jawaban dari ______, tapi aku masih bisa mendengar napas
______ yang tersengal-sengal dari dalam kamarku.
“Yah Kim SungKyu! Kau bukan namjachingu yang baik untuk ______!
Lebih baik ______ meninggalkan lelaki egois sepertimu itu! Arasseo?!” serunya dengan nada kesal dan suara serak. “Kaja ______, kita pulang,” ajak namja itu.
Dan
hening.
^^^^^^^
Time please stop for a while
I can’t think about this
^^^^^^^
Aku
ingin waktu berhenti untuk sebentar saja. Aku terlalu pusing untuk memikirkan
hal ini dan ini menjadikan beban untukku. Tapi, aku juga ingin mengubah
hubunganku dengan ______, agar aku bisa selalu menjaganya kapan pun dan di mana
pun, dan aku tidak harus selalu bertemu dengan namja sialan yang selalu menjaga ______ itu. Mengubah sifatku yang
selalu marah tanpa sebab padanya, selalu memintanya untuk menjauhiku,
mengakasarinya, dan yang lebih parah…
Tidak
tahu keadaannya sama sekali.
Hanya
namja itu yang selalu peduli padanya.
Sementara aku, namjachingunya
sendiri, tidak pernah peduli lagi padanya.
To: ______
Subject: -
Eotteohke jinae?
Kau ada di apartemenmu? Aku akan datang ke sana.
SungKyu.
PS:
Maaf kemarin malam aku tidak membukakanmu pintu kamarku, aku terlalu pusing
kemarin.
Aku
beranjak dari kasurku, lalu berjalan menuju lemari pakaianku dan hanya memakai
kaos biru donker dan celana jins
hitam serta jaket hitamku, dan pergi menuju apartemen ______. Dan semoga aku
tidak bertemu dengan namja yang selalu berada di sebelah ______ itu.
^^^^^^^
“Mau
apa kau ke sini?”
Ternyata
dugaanku salah. Dia masih ada di sana. Masih setia menjaga dan menemani ______
selama 24 jam penuh, sementara aku tidak. Tidak peduli dengannya, selalu
mengkasari dan memarahinya tanpa sebab.
“Yah, mau apa kau ke sini?” terguran namja itu membuatku kembali pada
kenyataan. Aku berdehem pelan, lalu menjawabnya. “Aku ingin menjenguknya,”
jawabku dengan cepat. Ia mengernyitkan alisnya, lalu tertawa sebal sambil
memalingkan wajahnya, lalu kembali menatapku dengan kesal.
“Yah, kemarin kau menyuruh ______ untuk
tidak menjengukmu, tapi kau menjenguknya. Lucu sekali. Dan hei, kau sudah baca
balasan pesanmu belum?” tanyanya dengan nada kesal. Aku menatapnya bingung,
lalu merogoh saku celanaku dan mengeluarkan ponselku.
1
new message
______
11:45:07
p.m
From: ______
Subject: -
Tidak
usah ke sini. Dia tidak membutuhkanmu. Aku sudah menjaganya.
Nam
WooHyun.
Aku
tertawa kesal, lalu menatapnya. “Huh Nam WooHyun-ssi, seberapa besar rasa pedulimu pada ______?” tanyaku. Ia
melemparkan tatapan tajamnya padaku. “Sebesar dunia ini, tidak sepertimu yang
selalu mementingkan dirimu sendiri,” jawabnya cepat.
“WooHyun-ah… Geumanhae…,”
terdengar suara pelan yang mendekati WooHyun-ssi dengan langkahnya yang pelan. ______. “______-ah, gwaenchanha?”
tanya WooHyun-ssi dengan nada
khawatir sambil menghampirinya, dan aku berdiri di ambang pintu dengan
kasualnya, seolah tidak terjadi apa pun yang ada di depanku mau pun argumenku
dengan WooHyun-ssi tadi.
“Nan gwaenchanha… Oh, ada Kim SungKyu-ssi… Annyeonghaseyo…,”
sapa ______, lalu membungkuk 90° padaku. “______, sudah kubilang jangan berbuat
seperti itu padaku… Itu membuat kita seperti tidak mengenal satu sama lain,”
gumamku pelan sambil menundukkan kepalaku.
“Gwaenchanha SungKyu-ah… Silakan masuk,” elak ______, lalu mempersilakanku masuk ke
apartemennya, diikuti lirikan sebal dari WooHyun-ssi. Ada rasa senang, memang, dan sebal di hatiku.
Senang: Untuk pertama kalinya
setelah 2 bulan ini ______ memanggilku dengan panggilan akrab.
Menang: Karena aku diperbolehkan masuk
oleh ______ setelah dilarang WooHyun-ssi.
Sebal: Tetap saja WooHyun-ssi itu sainganku meski aku
menang untuk sekali ini.
Aku
memasuki apartemen ______. Rapi, dan terdapat beberapa obat dosis berat di meja
tamunya. ______ menyadarinya jika aku melihat meja tamunya yang penuh dengan
berbagai macam obat-obatan. “Tidak apa, aku tidak akan membuangnya,” ujarku,
lalu tersenyum tipis padanya sebelum ia mulai berbicara.
“Ehem,”
dehem WooHyun-ssi yang membuatku
tersadar.
“Mau
minum apa…, Kim SungKyu-ssi…?” lanjut
WooHyun-ssi dengan nada sebal. Aku
memutar bola mataku, “Anything,”
jawabku malas, lalu menghampiri ______ yang sedang membereskan apartemennya
yang menurutnya berantakan.
“______-ah, istirahatlah dulu… Kau tidak
apa-apa?” tanyaku dengan setengah nada khawatir. Ia menolehkan wajahnya ke
wajahku, lalu memasang senyum tipis padaku. “Aku tidak apa-apa, tenang saja,”
jawabnya. Aku menggandeng tangannya dan mengajaknya duduk di sofa putihnya.
“Mianhae, aku selalu tidak peduli padamu…
Aku bahkan tidak tahu jika kau memiliki penyakit serangan jantung,” ucapku
pelan, lalu menundukkan kepalaku. Ia menepuk bahuku pelan yang membuatku
mengangkat kepalaku dan menatapnya. “Tdak apa-apa, SungKyu-ah… Aku berjanji untuk tidak meninggalkanmu selamanya,” janjinya,
lalu mengecup bibirku sekilas. Aku terpaku di tempatku, mencoba menyadari semua
yang terjadi tadi.
Ia…,
menciumku…?
“A…,
aku janji…, aku juga akan selalu berada di sampingmu dan tidak meninggalkanmu
selamanya,” janjiku dengan tergagap, lalu mendekatkan tubujhku hingga aku
menutup jarak diantara kami dan menciumnya. Ciuman pertamaku.
Ciuman
pertamaku setelah dua bulan lamanya, yang memisahkan jarak kami selama ini. Dua
bulan sudah terlalu lama untukku. Rasanya seperti seribu tahun aku tidak pernah berkomunikasi dengannya, karena
sifatku dan kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Tanpa ragu, ia membalas
ciumanku, dan tanpa mengetahui bahwa WooHyun-ssi sedang menatap kami dengan tatapan cemburu, lalu kembali masuk
menuju ke dapur.
^^^^^^^
5
years later…
Aku
kembali ke Korea setelah melanjutkan studiku ke Inggris, mendalami pelajaran
musikku di sana. Aku meninggalkan semuanya, termasuk ______ selama 5 tahun ini.
Aku jadi teringat olehnya. Apakah ia sehat-sehat saja, lebih sehat ketimbang
dulu? Karena teringat olehnya, aku memutuskan untuk pergi ke apartemennya.
Aku
membayangkan jika ia menyapaku dengan senyumnya yang manis itu, tanpa muka
pucat dan senyum tipis lemahnya itu. “Semoga aku bisa melihatnya dan memeluknya
lagi,” gumamku sambil berjalan menuju ke apartemen ______.
^^^^^^^
“Eh?”
tanyaku kaget. Aku baru saja sampai di sana, bertemu dengan WooHyun-ssi yang sedang mengangkat kardus barang
dari apartemen ______. “Jinjjaro?!
Kapan?!” seruku, masih tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan dari
mulut WooHyun-ssi.
______...,
meninggal?
Meninggalkanku…?
Selamanya…?
Tidak
mungkin!
“Yah! Beritahu aku jika itu tidak benar
WooHyun-ssi! ______ hanya pindah
rumah, iya kan?!” bentakku sambil mengguncang-guncangkan kedua bahu WooHyun-ssi. Ia hanya menggeleng lemah. “Tidak,
itu memang benar… ______ sudah meninggal… Meninggalkan kita… Ia meninggal saat
tiba-tiba serangan jantungnya kambuh dan ia lupa membawa tabung pil
penenangnya… Itu sebulan yang lalu…,” jelas WooHyun-ssi dengan suara pelan dan lemah. Aku langsung mematung di tempatku
dan berhenti mengguncangkan bahu WooHyun-ssi.
Itu…,
memang benar…?
“Ah,
aku lupa,” celetuknya pelan, lalu menaruuh kardus barang yang dibawanya dan
merogoh saku celananya, dan memberikan sebuah amplop kecil berwarna biru
kepadaku. “Igeo mwoya?” tanyaku
bingung sambil menatap wajahnya. WooHyun-ssi
membuka mulutnya, “Aku baru menemukannya tadi… Saat di rumah sakit, ia sempat
sadar untuk kira-kira sepuluh menit, lalu ia bilang jika ia menulis surat
untukmu, tapi ia lupa membawanya… Jadi, baru kuberikan sekarang… Kau baca saja
sendiri,” tapi, kalimat terakhirnya itu terdengar sangat menyebalkan di
telingaku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar, masih tidak percaya dan belum
berani menerima kenyataan bahwa ______ memang telah meninggal.
“Beritahu
aku dimana makamnya, aku akan membacanya nanti di rumahku.”
^^^^^^^
“______-ah…,” gumamku pelan saat aku melihat
fotonya yang sedang tersenyum lebar di dekat makamnya. “Kenapa kau
meninggalkanku…? Kenapa secepat ini…?” lanjutku dengan suara bergetar sambil
mengelus fotonya. “Kau berjanji untuk tidak meninggalkanku… Tapi, kau
meninggalkanku lebih dulu… Kenapa ______-ah…?
Kenapa…?” erangku, air mataku mulai berjatuhan.
“Shit,” umpatku pelan sambil menghapus
air mataku.
“Maafkan
aku kalau aku selalu menyakitimu, menyalahkanmu tanpa sebab, dan selalu kasar
padamu… Kau tahu…? Aku ingin mengubah hubungan kita…, tapi…, tampaknya aku
berpikir terlalu lama…, hingga akhirnya aku belum bisa…, mengubahnya menjadi
lebih baik…,” ucapku pelan sambil sesekali menghapus air mataku yang tetap
berjatuhan.
“Ani SungKyu-ah… Kau tidak salah,” seseorang berbicara denganku, tapi aku tidak
bisa melihatnya, aku hanya bisa mendengarnya. Suaranya sangat familiar
denganku. Perempuan dengan suara pelan dan lemah.
______.
“______-ah… Neon
eodiga…?” tanyaku pelan. Tapi, tidak ada jawaban.
“______-ah…?” ulangku bingung dengan yang
barusan itu.
“Neon eodiga…?”
“Baiklah,
kalau begitu… Kau selalu bersembunyi dariku.” Aku bangkit setelah beberapa
menit memikirkan apa yang terjadi tadi, lalu menaruh bunga dan beberapa barang
kesukaannya di depan makamnya.
“Semoga
kau tenang di sana, tunggulah aku sampai aku menyusulmu… Aku berjanji aku tidak
akan mencari wanita lain selain dirimu karena kaulah cinta pertama dan
terakhirku… Sekali lagi, aku minta maaf untuk segalanya, karena perbuatanku
padamu selama kau masih hidup di dunia ini… Tdak ada keindahan yang lebih undah
di dunia ini selain kebersamaan lta yang dulu sebelum sifat kasarku ini muncul…
Terima kasih untuk segalanya ______-ah,
terima kasih untuk selalu sabar menghadapiku, dan terima kasih untuk selalu
berada di sampingku… Dan maaf, aku baru mengunjungimu sekarang karena aku baru
pulang dari Inggris setelah aku lulus dari status mahasiswaku…Kau bangga, kan,
pacarmu ini sudah sarjana? Kuharap kau senang akan prestasiku, ______-ah… Nah, aku pergi dulu… Istirahatlah
dengan tenang, naneol saranghae, yeongwonhi saranghae…,” ucapku panjang
lebar, lalu mencium makamnya dan pergi.
^^^^^^^
“Oh…,
aku lupa.” Aku baru teringat jika WooHyun-ssi
memberikanku surat dari ______ untukku. Aku pergi ke kamarku, lalu mengunci
pintu kamarku dan merogoh saku jaketku. “Ketemu,” gumamku senang, lalu berjalan
menuju kasurku dan duduk di sana sambil melihat tulisan di depan amplop
tersebut.
Untuk: Kim SungKyu-ku yang sangat kusayangi
dan kucintai.
Aku
tersenyum saat membaca tulisannya tersebut, lalu mulai merobek amplop tersebut,
dan mengeluarkan selembar kertas putih bermotif polkadot. Aku terkekeh pelan
saat aku ingat betapa sukanya ia dengan motif polkadot/ Aku mulai membaca surat
itu dari awal, mataku tidak berkedip sedetik pun saat membaca suratnya, dan
kini aku merasa aku ingin menangis lagi setelah membacanya.
Kim SungKyu…,
Annyeong, jal jinae? Kuharap kau baik-baik saja, tidak sepertiku yang memiliki keadaan
tubuh lemah yang selalu membutuhkan pil penenang sialan itu.
SungKyu-ah…,
Kau tahu? AKu sudah menyukaimu sejak
kelas 3 SMP, tapi aku baru memberanikan diriku saat awal SMA hingga sekarang, 3
SMA. Dan kau tahu? Meski pun aku selalu mendapat perlakuan kasarmu, aku selalu
menerimanya dan senang, karena meski pun di balik semua itu, aku tahu kau
sebenarnya mencintaiku dan selalu mengkhawatirkanku. Terima kasih untuk itu.
SungKyu-ah…,
Sebenarnya, aku tidak ingin
menceritakan ni pada siapa pun, termasuk kau… Tapi, karena sewaktu-waktu
serangan jantungku kambuh, dan tidak bisa menjelaskannya lagi padamu, maka akan
kujelakan semuanya, dari awal.
Aku didiagnosa mempunyai hemophilia, masalah dengan ususku, dan serangan
jantung. Aku mengetahui itu saat akan ujian kelulusan kelas 3 SMP kemarin. Kau
kaget kan, aku mempunyai penyakit parah seperti itu? Begitu pun aku, aku
mengetahui itu saat akan ujan kelulusan yang membuatku tambah depresi. Aku
harus selalu berhati-hati agar tidak terluka. Kau tahu kan, jika penderita hemophilia
sepertiku, jika terluka, maka luka darah
yang dikeluarkan akan terus keluar hingga kekurangan darah, dan yang paling
parah adalah meninggal. Dan ternyata, semua penyakit itu keturunan dari ayah
dan nenek dar ayahku. Itu sangat mengerikan.
SungKyu-ah, mungkin kemarin aku berjanji aku tdak akan
meninggalkanmu. Tapi, suatu hari nanti, takdir akan mengatakan hal yang
berkebalikan dari yang aku janjikan kemarin dan aku tidak tahu kapan itu akan
terjadi. Meski pun nanti aku telah tiada, tapi, carilah wanita lain yang lebh
pantas menemanimu hingga akhir hayatmu nanti! Mungkin aku adalah cinta pertama
dan terakhirmu, tapi, kau harus menemukan yang lain untuk menggantikanku,
selalu menemanimu. Aku yakin, kau akan melupakanku, tapi jika tidak, itu akan
lebih baik untukku.
SungKyu-ah, sekali lagi, terima kasih untuk segalanya.
Kau bilang, kau akan melanjutkan studimu ke Inggris, ya? Kalau begitu,
semangat! Kuharap kau akan memperoleh hasil terbaikmu di sana. Meski pun kau
akan pergi ke Inggris dan harus pergi meninggalkanku di Korea, tapi, aku akan
selalu mengingatmu.
Mungkin tu saja, SungKyu-ah… Atau mulai sekarang aku harus memanggilmu
dengan sebutan “oppa”, seperti
pasangan-pasangan yang lain? Hahaha… Baiklah, SungKyu oppa, bersenang-senanglah, jaga dirimu
baik-baik, dan terima kasih untuk tiga tahun ini! Aku mencintaimu! Dan jangan
lupa ingat tanggal ini ya, 14 Maret 20xx, hari dimana saat itu kau mengajakku
untuk menjadikanku pacarmu saat White Day, itu adalah hari yang paling membahagakan seumur hidupku!
Annyeong, SungKyu oppa, semoga kau sehat selalu. Sekali lag, aku mencintaimu.
Dari orang yang selalu kau sayangi dan kau cintai,
______
Air
mataku kembali tumpah, tetesan airnya jatuh mengenai kertas surat tersebut.
Tiga penyakit parah, menyuruhku untuk mencari wanita lain, membuka kedokku,
menyayangi dan mencintaiku, dan yang lebih penting…
Tanggal
itu…
“Aku
tdak akan mencari wanita lain, dan aku akan selalu mengingat tanggal itu seumur
hidupku, bodoh… Sialan…,” umpatku pelan di selingi isakan tangisku yang mulai
menjadi karenanya.
“Dan
yang lebih penting…, aku akan selalu mengingat dirimu, di setiap langkah dan
nafasku, sampai akhir hayatku… Nado neol
saranghae, yeongwonhi saranghae,
______-ah… Terima kasih untuk semua
kebaikanmu padaku di dunia ini, dan maafkan aku…,” lanjutku pelan, lalu
menghapus airmataku lagi, bangkit dari dudukku, masih menggenggam surat itu,
dan berjalan menuju dinding kamarku.
“Di
mana selotip itu?” gumamku pelan sambil mencari-cari selotip yang sedang kucari
di mejaku. “Oh,” celetukku pelan. Aku meraih selotip itu, lalu merobek sedikit
selotip itu, dan menempelkan selotip pada kertas surat itu, dan menempelkannya
di dindingku. Aku berkacak pinggang dengan puas saat melihatnya.
“Dari
semua hadiah yang kau berikan padaku, hanya kehadiranmu di hadapanku dan surat
ini hadiah yang berkesan di hidupku. Annyeong,
______-ah, semoga kau tenang di sana.
Tunggulah aku.”
END
A/N: Yosh,
deudieo kkeutnayo (akhirnya selesai)!
Sekali lagi, maaf kalo ini nggak sad banget,
aku udah berusaha semaksimal mungkin buat bkin sad tapi kayaknya nggak sad ya?TT.TT
Tapi, semoga kalian menikmati FFnya. Annyeong!
*ppyong*
No comments:
Post a Comment