Thursday, 9 October 2014

180° (Tic Toc songfict)


180°

Main Cast        : Kim SungKyu, you, Nam WooHyun (cameo)
Author : Nisaaa281827
Genre  : Sad, angst, a little bit romance
Length : Oneshot (3000-4000+ words)
Foreword        : Hai! Foreword kali ini ditulis oleh Author Carolin yang pengen ikut mejeng di ff-nya Author Nisa. Wkwkwk, jangnanman(cuma becanda)~ hanya… ingin mengucapkan terimakasih untuk… *sok drama* yah~intinya makasih buat Author Nisa yang udah mau berkarya buat blog ini. Nggak sia-sia, Sa! (ceritanya ngomong sama Author Nisa) ff-mu overviewnya banyak lho~selamat dan terussssslah berkarya!

            “Jangan dekati aku!!!” teriakku. Aku baru saja pulang dari kafe tempatku mengambil part time shift malam dan baru sampai di rumahku, lalu mendapati gadis itu. _____, yang sedang menunggu lelakinya yang entah kenapa selalu memintanya untuk menjauhinya, bahkan menyentuhnya. Itulah aku. Kim SungKyu.
            “Ah, arasseo… Kalau kau belum makan, aku sudah menyiapkan makanan kesukaanmu di meja makan. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya. Istirahat yang cukup,” ucapnya pelan, lalu berjalan menuju pintu rumahku, tapi ia sempat membalikkan badannya dan membungkukkan badannya padaku. “Annyeonghi jumuseyo, Kim SungKyu. Semoga tidurmu nyenyak,” pamitnya, lalu mulai pergi dari rumahku.
            Seperti itulah hubungan kami.
            Seperti aku tuannya dan ia budakku.
            Dan aku selalu menyesali hubungan kami yang seperti ini. Tapi, entah mengapa aku malah menjadi seperti ini pada _____. Awalnya hubungan kami berjalan dengan lancar dan selalu penuh canda tawa kami, tapi beberapa bulan belakangan ini sifatku berubah. Dan setiap kali ia bersikap seperti itu, aku selalu merutuki diriku sendiri karena perbuatanku padanya. Beberapa bulan yang lalu saat aku mulai bersikap dingin padanya, ia selalu ingin pergi dariku. Tapi, aku selalu memintanya kembali dan berjanji untuk tidak bersikap seperti itu padanya.
            But the truth was always the opposite from what I said.
            And those promises too.
            Aku berjalan gontai menuju meja makanku, lalu seperti yang ia katakan, di meja makanku telah terhidang makanan kesukaanku. Aku menemukan secarik kertas di dekat piring makanan tersebut. Karena penasaran, aku mengambil kertas itu dan membacanya.
            Kim SungKyu-ssi, aku telah menyiapkan makananmu. Aku akan makan di rumahku saja, aku belum lapar. Jaga dirimu baik-baik dan istirahat yang cukup.
______
            Bahkan ia memanggilku dengan nama lengkapku dan –ssi, seperti tidak mengenal satu sama lain. Geundae…,
            Dia belum makan?
            “Ah ahjussi, tadi _____datang ke sini jam berapa?” tanyaku pada seorang ahjussi pelayan yang kebetulan lewat di depan meja makan. Ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku dengan tersenyum tipis—atau mungkin tersenyum sedih. “Sekitar jam 4 sore tadi, ia memasak mati-matian untukmu,” jawabnya singkat, lalu membungkukkan badannya dan menghilang dari pandanganku.
            Ia tidak makan dari jam 4 sore?
            Sampai jam 10 malam ini?
            Yang benar saja!
            Aku merogoh saku celanaku, lalu mengeluarkan ponselku, mencari kontak ______ dan berusaha menelponnya. “Sialan,” umpatku pelan saat yang menjawab adalah operator. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengirimnya pesan.
            To: ______
            Subject: -
            Yah, kau belum makan dari jam 4 sore tadi? Cepat makan dan jaga dirimu baik-baik. Pikirkan juga dirimu sendiri.
SungKyu
“Massitta,” gumamku pelan saat aku memakan makanan hasil masakan ______.
^^^^^^^^^^^
            “_______ tidak masuk hari ini, katanya sakit,” jawab salah seorang siswi teman sekelas ______ saat aku mengunjungi kelas ______. “Gadis sialan itu,” umpatku pelan. “Ah ye, kamsahamnida,” ucapku, lalu membungkukkan badanku dan berjalan menuju kelasku.
            “Siapa suruh ia tidak makan tadi malam” gumamku kesal dalam perjalananku menuju ke kelasku. Hingga aku mendapati seseorang sedang memanggilku dari belakang. Aku menoleh ke belakang dan aku melihat DongWoo dan SungYeol yang berlari ke arahku.
            “SungKyu-yaaaaa!!!!” teriak DongWoo.
            “Mwo?” tanyaku pendek, memasang wajah jutek. DongWoo dan SungYeol mencoba untuk mengatur napas mereka sebelum menjawab pertanyaanku hingga SungYeol angkat bicara. “______ di rawat di rumah sakit tadi pagi,” jawab SungYeol.
            “Eh?”
^^^^^^^^^^
            Sillyehamnida, hajiman, kamar inap nomor berapa pasien _____ di rawat ya, suster?” tanyaku saat aku sampai di rumah sakit umum Seoul. Aku menanyakan nama rumah sakitnya pada SungYeol dan DongWoo, tapi aku lupa menanyakan kamar inapnya. Suster itu menatapku, tidak menjawab pertanyaanku. Tapi, ia malah melontarkan pertanyaan lain. “Anda siapanya pasien ______?” tanyanya. Aku menatapnya malas, lalu mulai menjawab. “Aku pacarnya,” jawabku, malas berbasa-basi. Suster itu tersenyum, lalu membuka bukunya dan menyebutkan nomor kamarnya. “Geuraesseumnida, kamsahamnida,” ucapku, membungkukkan badanku, dan melangkahkan kakiku menuju lift.
            Annyeonghaseyo,” sapaku pelan saat aku sampai di kamarnya.
            Sepi.
            Hanya ada dirinya seorang, di temani selang infus yang menempel di pergelangan tangan putih tirusnya itu dan fasilitas kamar rumah sakit ini. Ia sedikit kaget saat tahu yang menjenguknya adalah aku, tapi ia cepat mengubah ekspresinya dan menyapaku dengan formal.
            “Oh, Kim SungKyu-ssi. Geugeoseun mwo?” sapanya sambil memasang senyum tipis padaku. Aku yang merasa jengah dengan panggilan itu langsung membuka mulutku.
            “Jangan memanggilku seperti itu. Aku menjengukmu, kenapa kau tidak makan tadi malam? Aku kan sudah mengirimimu pesan,” ujarku sembari berjalan menuju tepi ranjangnya. Ia seperti kaget saat aku mengetahui ia tidak makan tadi malam, tapi aku bersikap biasa saja, lalu duduk di kursi di dekat ranjangnya.
Mianhae, tadi malam ponselku sedang low dan aku lupa menchargenya, jadi aku belum mengeceknya,” jawabnya dengan pelan dan nada bersalah.
            Gwaenchanha. Mau makan?” tawarku. Ia menggeleng.
            Wae?” tanyaku.
            “Makanan rumah sakit tdak enak,” jawabnya pelan.
            Geuraeyo, akan kubelikan, tapi kau harus makan.”
^^^^^^^^^^^^
            “Aaaaa~,” abaku sambil menyendokkan makanannya. Ia membuka mulutnya, lalu memakannya meskipun terlihat agak enggan untuk memakan makanan yang baru saja kubelikan. “Massitta?” tanyaku. “Massitta,” jawabnya. Aku hanya tersenyum tipis, lalu menyendokkan kembali makanannya sembari menunggunya menelan makanan yang ada di dalam mulut kecilnya itu.
            “Uhuk uhuk!”
            Tiba-tiba, ______ tersedak.
            “Ah, neon gwaenchan—“ aku yang sudah mengambilkannya segelas air dan berjalan sedikit tergesa untuk kembali ke ranjangnya smabil menanyakannya dengan nada khawatir harus menghentikan pertanyaanku ketika melihat ada sedikit noda darah di telapak tangannya.
            Soljikhi, dia sakit apa?
            Nan gwaenchanha, SungKyu-ssi…,” elaknya pelan. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan sedikit kesal, lalu mulai membalasnya. “Jangan panggil aku seperti itu dan jangan mengelak. Diamlah,” ucapku, lalu menekan tombol bel untuk memanggil suster bila ada gawat darurat. Satu menit setelah aku menekan tombol bel itu, seorang suster datang dan aku langsung menjelaskan yang barusan terjadi dengan tergesa-gesa.
            Tergesa-gesa karena aku mengkhawatirkannya.
            Mengkhawatirkan ______.
            Tapi, itu hanya di dalam hatiku.
            Diri ini tidak.
            Dengan tergesa-gesa lagi, aku menyuruh suster itu untuk memanggil dokter yang menangani _____ agar segera memeriksakan keadaannya.
            Dan agar aku dengan segera mengetahui keadaan dirinya yang ia sembunyikan dariku.
^^^^^^^^^
Soljikhi, uisa-nim, dia sakit apa?” tanyaku pada sang dokter. Ia hanya menatapku lamat, sebelum ia mulai menjelaskannya. “Ia tidak mau memberitahukan penyakitnya pada siapa pun. Ngomong-ngomong, Anda siapanya pasien?” tidak dokter ini maupun suster yang ada di depan tadi, selalu membuat basa-basi yang sama.
Jeoneun geunyeo namchin,” jawabku dengan malas.
Jeongmalyo? Kalau begitu, akan kuberitahukan saja gejalanya apa. Dia tidak bisa memakan makanan berbumbu ataupun berminyak dan jika ia tidak makan, itu akan berakibat buruk, karena akan membuatnya batuk yang mengeluarkan darah. Aku harap kau bisa menjaganya dengan baik. Oh ya, jangan biarkan dia terluka sedikit pun, itu dapat membahayakan nyawanya. Dan selalu awasi dia karena dia mempunyai penyakit yang dapat membunuhnya kapan saja. Jal, jeoneun sillyehamnida,” jelas dokter itu, menepuk sebelah pundakku, dan pergi meninggalkanku.
Tapi, aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan tadi.
Aku kembali masuk ke dalam kamar inap ______, dan ia menatapku dengan tatapan kosong. “Apa yang sedang kau bicarakan tadi, SungKyu?” tanyanya, masih menatapku kosong. Aku menggelengkan kepalaku.
Eobseoyo.”
^^^^^^^^^
“______-ah!!!” jerit teman-teman perempuan sekelasnya, menghampiri ______ yang sedang terkulai lemas karena pingsan mendadak di lapangan saat pelajaran olahraga. Aku yang sedang berjalan melewati lapangan langsung menoleh begitu namanya terdengar olehku dan langsung berlari ke arah lapangan. Tapi, yang kudapati adalah diriku yang sebelumnya khawatir padanya malah jadi bersikap biasa saja.
Geugeoseun mwo?” tanyaku. Aku hanya memasang muka datar dan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana seragamku—bersikap kasual padahal sebenarnya aku sangat khawatir dengannya. Namjachingu macam apa aku ini?!
“Oh? Kau Kim SungKyu itu kan?” tanya salah seorang siswa yang sedang menatapku dengan tatapan aneh (menurutku). Aku hanya menganggukkan kepalaku, lalu menjawab.
Ne. Waeyo?” tanyaku balik, masih bersikap kasual dengannya. Ia berjalan ke arahku dengan langkah berat, teman-teman laki-lakinya yang ada di belakangnya telah memperingatkannya untuk tidak bertindak macam-macam, tapi ia tetap nekat melangkah ke arahku.
“Kau itu namjachingunya, kenapa perilakumu terhadap _____ seperti itu, hah?!”
BUAAAAGH!!!!
Sebuah tinjuan mendarat halus di pipi putihku. Aku langsung jatuh tersungkur, sementara siswa itu tetap memandangku dengan lirikan sebal. Aku meraba sudut bibirku, terdapat sedikit darah di sana. Aku tersenyum licik sambil menyeka darahku, lalu berdiri. Sementara siswa itu mulai mengangkat tubuh _______ kecil nan lemah itu dengan bridal style dan membawanya ke klinik sekolah. Harusnya aku yang melakukan itu!
Ia menghentikan langkahnya sebentar, lalu menoleh ke arahku. “Seharusnya ______ meninggalkan lelaki sepertimu,” desisnya sebal, lalu kembali berjalan menuju ke klinik sekolah, sementara teman-teman _______ melihatku dengan tatapan sebal dan prihatin. Karena tidak suka diperhatikan seperti itu, aku mulai berteriak pada mereka.
“Kalau kalian tidak suka, bilang saja!!!” teriakku, lalu berlari menuju kelasku.
Hatiku telah beku, aku tidak peduli dengan siapapun. Aku hanya peduli dengan _____, meskipun yang peduli hanyalah hati dan pikiranku, diri ini tidak.
“Hahaha! Yang benar saja…,” aku mendengar suara tawa seseorang yang sangat kukenal saat aku melewati klinik sekolah dekat tangga yang menyambungkan antara lantai satu dan lantai dua.
_______.
 Aku tidak pernah mendengar suara tawanya lagi sekarang. Dan baru kali ini aku kembali mendengar tawaannya itu. Aku menghentikan langkahku, lalu berhenti di depan pintu klinik dan menguping pembicaraan mereka (mohon jangan ditiru). Aku masih bisa mendengar suara siswa yang menolong _____ tadi. Ternyata dia belum pergi ya. ______ memang pantas mendapatkan lelaki seperti dia, yang selalu menemani dan menjaganya setiap saat, tidak sepertiku yang selalu bertindak mengikuti ego, dan selalu tidak bertindak secara langsung terhadap pacarnya jika pasangannya sedang terluka atau ada masalah.
“______-ah,” aku mendengar siswa itu memanggil ______ dengan pelan. “Ye?” tanya ______, masih diselingi tawanya yang pelan. “Apakah kau mencintai pacarmu itu?” tanya siswa itu yang membuatku tertegun dan membuat _______ berhenti tertawa.
“Aku selalu berkata pada diriku sendiri jika aku bukan yeojachingunya karena perlakuannya padaku…,” gumam _______ yang masih bisa kudengar. “Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri jika aku mencintainya meskipun perilakunya seperti itu,” lanjut _______ pelan. Aku langsung membeku di tempatku.
Ia…., mencintaiku…?
Aku serasa diangkat ke langit begitu mendengar perkataannya. Senyumku mulai berkembang di wajahku. Aku harus bisa membuatnya bahagia. Aku berdehem pelan, lalu kembali melanjutkan mendengar percakapan mereka. Aku mendengar namja itu mendesah, lalu mulai berujar lagi pada ______.
            “Haaah baiklah… Tapi ______-ah, aku ingin mengatakan sesuatu…,” ucapnya pelan. “Mwo?” tanya ______. “Aku menyukaimu, tapi sudah lama sih… Geunde, kau milik si Kim SungKyu sialan itu…,” akunya yang membuatku dan ______ lagi-lagi tertegun, lalu namja itu melanjutkan kembali kata-katanya, “Kau memiliki penyakit pembunuh itu kan?” Tidak ada jawaban dari ______, dan selang dua menit ia baru menjawabnya. “Eh…, ah…, kamsahamnida karena telah menyukaiku… Benar, dari mana kau mengetahui tentang itu?” tanya ______ dengan nada bingung dan kikuk. “Itu tidak penting… Tapi, izinkanlah aku untuk selalu berada di sampingmu, untuk berjaga-jaga sih jika penyakitmu kambuh,” pinta namja itu.
Dan jawaban ______ membuatku lemas.
“Baiklah…. Kim SungKyu-ssi itu tidak pernah menjagaku barang satu detik saja.”
^^^^^^^
            Malamnya aku tidak bisa tidur. Aku malah menjadi sakit karena perkataan ______ tadi siang yang membuatku harus pulang ke rumah saat pelajaran Cha seonsaengnim berlangsung dan aku harus izin tidak masuk kerja shift malamku pada bos kafe tempatku bekerja. Dan kata-katanya itu masih terekam jelas dalam ingatanku.
“Baiklah…. Kim SungKyu-ssi itu tidak pernah menjagaku barang satu detik saja.”
            Tok tok!
            Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku yang terbaring lemas ini pun tidak bisa membukakannya pintu. “Nuguyo?” tanyaku dari dalam.
Igeoseun na, ______.”
______ yang datang rupanya. Rasanya aku ingin menangis jika mendengar suara pelannya dan keadannya yang seperti itu. “Kau tidak akan menjagaku seperti aku yang selalu tidak menjagamu. Kau ingin menjengukku, kan? Pergilah,” ujarku, aku merasa tidak pantas jika aku membuatnya tersakiti lagi dengan keadaannya yang seperti itu.
“Kim SungKyu, jebal…”
Aniyo… Aku tidak mau kau tersakiti lagi…”
“Ah…! Ah…, pil…, pilku…, eodiya…?”
“______-ah!”
Suara namja yang menemaninya tadi di klinik sekolah. Ternyata ia mengantarkan ______ ke sini. Aku ingin menolongnya. Ingin sekali menolongnya. Tapi, tubuh ini terasa berat untuk bergerak menolongnya.
“______­-ah, gwaenchanha? Dimana tabung pilmu?” tanya namja itu panik. Tidak ada jawaban dari ______, tapi aku masih bisa mendengar napas ______ yang tersengal-sengal dari dalam kamarku.
Yah Kim SungKyu! Kau bukan namjachingu yang baik untuk ______! Lebih baik ______ meninggalkan lelaki egois sepertimu itu! Arasseo?!” serunya dengan nada kesal dan suara serak. “Kaja ______, kita pulang,” ajak namja itu.
Dan hening.
^^^^^^^
Time please stop for a while
I can’t think about this
^^^^^^^
Aku ingin waktu berhenti untuk sebentar saja. Aku terlalu pusing untuk memikirkan hal ini dan ini menjadikan beban untukku. Tapi, aku juga ingin mengubah hubunganku dengan ______, agar aku bisa selalu menjaganya kapan pun dan di mana pun, dan aku tidak harus selalu bertemu dengan namja sialan yang selalu menjaga ______ itu. Mengubah sifatku yang selalu marah tanpa sebab padanya, selalu memintanya untuk menjauhiku, mengakasarinya, dan yang lebih parah…
Tidak tahu keadaannya sama sekali.
Hanya namja itu yang selalu peduli padanya. Sementara aku, namjachingunya sendiri, tidak pernah peduli lagi padanya.
To: ______
Subject: -
Eotteohke jinae? Kau ada di apartemenmu? Aku akan datang ke sana.
SungKyu.
PS: Maaf kemarin malam aku tidak membukakanmu pintu kamarku, aku terlalu pusing kemarin.
Aku beranjak dari kasurku, lalu berjalan menuju lemari pakaianku dan hanya memakai kaos biru donker dan celana jins hitam serta jaket hitamku, dan pergi menuju apartemen ______. Dan semoga aku tidak bertemu dengan namja  yang selalu berada di sebelah ______ itu.
^^^^^^^
“Mau apa kau ke sini?”
Ternyata dugaanku salah. Dia masih ada di sana. Masih setia menjaga dan menemani ______ selama 24 jam penuh, sementara aku tidak. Tidak peduli dengannya, selalu mengkasari dan memarahinya tanpa sebab.
Yah, mau apa kau ke sini?” terguran namja itu membuatku kembali pada kenyataan. Aku berdehem pelan, lalu menjawabnya. “Aku ingin menjenguknya,” jawabku dengan cepat. Ia mengernyitkan alisnya, lalu tertawa sebal sambil memalingkan wajahnya, lalu kembali menatapku dengan kesal.
Yah, kemarin kau menyuruh ______ untuk tidak menjengukmu, tapi kau menjenguknya. Lucu sekali. Dan hei, kau sudah baca balasan pesanmu belum?” tanyanya dengan nada kesal. Aku menatapnya bingung, lalu merogoh saku celanaku dan mengeluarkan ponselku.
1 new message
______
11:45:07 p.m
From: ______
Subject: -
Tidak usah ke sini. Dia tidak membutuhkanmu. Aku sudah menjaganya.
Nam WooHyun.
Aku tertawa kesal, lalu menatapnya. “Huh Nam WooHyun-ssi, seberapa besar rasa pedulimu pada ______?” tanyaku. Ia melemparkan tatapan tajamnya padaku. “Sebesar dunia ini, tidak sepertimu yang selalu mementingkan dirimu sendiri,” jawabnya cepat.
“WooHyun-ahGeumanhae…,” terdengar suara pelan yang mendekati WooHyun-ssi dengan langkahnya yang pelan. ______. “______-ah, gwaenchanha?” tanya WooHyun-ssi dengan nada khawatir sambil menghampirinya, dan aku berdiri di ambang pintu dengan kasualnya, seolah tidak terjadi apa pun yang ada di depanku mau pun argumenku dengan WooHyun-ssi tadi.
Nan gwaenchanha… Oh, ada Kim SungKyu-ssiAnnyeonghaseyo…,” sapa ______, lalu membungkuk 90° padaku. “______, sudah kubilang jangan berbuat seperti itu padaku… Itu membuat kita seperti tidak mengenal satu sama lain,” gumamku pelan sambil menundukkan kepalaku.
Gwaenchanha SungKyu-ah… Silakan masuk,” elak ______, lalu mempersilakanku masuk ke apartemennya, diikuti lirikan sebal dari WooHyun-ssi. Ada rasa senang, memang, dan sebal di hatiku.
Senang: Untuk pertama kalinya setelah 2 bulan ini ______ memanggilku dengan panggilan akrab.
Menang: Karena aku diperbolehkan masuk oleh ______ setelah dilarang WooHyun-ssi.
Sebal: Tetap saja WooHyun-ssi itu sainganku meski aku menang untuk sekali ini.
            Aku memasuki apartemen ______. Rapi, dan terdapat beberapa obat dosis berat di meja tamunya. ______ menyadarinya jika aku melihat meja tamunya yang penuh dengan berbagai macam obat-obatan. “Tidak apa, aku tidak akan membuangnya,” ujarku, lalu tersenyum tipis padanya sebelum ia mulai berbicara.
            “Ehem,” dehem WooHyun-ssi yang membuatku tersadar.
            “Mau minum apa…, Kim SungKyu-ssi…?” lanjut WooHyun-ssi dengan nada sebal. Aku memutar bola mataku, “Anything,” jawabku malas, lalu menghampiri ______ yang sedang membereskan apartemennya yang menurutnya berantakan.
            “______-ah, istirahatlah dulu… Kau tidak apa-apa?” tanyaku dengan setengah nada khawatir. Ia menolehkan wajahnya ke wajahku, lalu memasang senyum tipis padaku. “Aku tidak apa-apa, tenang saja,” jawabnya. Aku menggandeng tangannya dan mengajaknya duduk di sofa putihnya.
            Mianhae, aku selalu tidak peduli padamu… Aku bahkan tidak tahu jika kau memiliki penyakit serangan jantung,” ucapku pelan, lalu menundukkan kepalaku. Ia menepuk bahuku pelan yang membuatku mengangkat kepalaku dan menatapnya. “Tdak apa-apa, SungKyu-ah… Aku berjanji untuk tidak meninggalkanmu selamanya,” janjinya, lalu mengecup bibirku sekilas. Aku terpaku di tempatku, mencoba menyadari semua yang terjadi tadi.
            Ia…, menciumku…?
            “A…, aku janji…, aku juga akan selalu berada di sampingmu dan tidak meninggalkanmu selamanya,” janjiku dengan tergagap, lalu mendekatkan tubujhku hingga aku menutup jarak diantara kami dan menciumnya. Ciuman pertamaku.
            Ciuman pertamaku setelah dua bulan lamanya, yang memisahkan jarak kami selama ini. Dua bulan sudah terlalu lama untukku. Rasanya seperti seribu tahun aku tidak  pernah berkomunikasi dengannya, karena sifatku dan kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Tanpa ragu, ia membalas ciumanku, dan tanpa mengetahui bahwa WooHyun-ssi sedang menatap kami dengan tatapan cemburu, lalu kembali masuk menuju ke dapur.
^^^^^^^
            5 years later
            Aku kembali ke Korea setelah melanjutkan studiku ke Inggris, mendalami pelajaran musikku di sana. Aku meninggalkan semuanya, termasuk ______ selama 5 tahun ini. Aku jadi teringat olehnya. Apakah ia sehat-sehat saja, lebih sehat ketimbang dulu? Karena teringat olehnya, aku memutuskan untuk pergi ke apartemennya.
            Aku membayangkan jika ia menyapaku dengan senyumnya yang manis itu, tanpa muka pucat dan senyum tipis lemahnya itu. “Semoga aku bisa melihatnya dan memeluknya lagi,” gumamku sambil berjalan menuju ke apartemen ______.
^^^^^^^
            “Eh?” tanyaku kaget. Aku baru saja sampai di sana, bertemu dengan WooHyun-ssi yang sedang mengangkat kardus barang dari apartemen ______. “Jinjjaro?! Kapan?!” seruku, masih tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan dari mulut WooHyun-ssi.
            ______..., meninggal?
            Meninggalkanku…?
            Selamanya…?
            Tidak mungkin!
            Yah! Beritahu aku jika itu tidak benar WooHyun-ssi! ______ hanya pindah rumah, iya kan?!” bentakku sambil mengguncang-guncangkan kedua bahu WooHyun-ssi. Ia hanya menggeleng lemah. “Tidak, itu memang benar… ______ sudah meninggal… Meninggalkan kita… Ia meninggal saat tiba-tiba serangan jantungnya kambuh dan ia lupa membawa tabung pil penenangnya… Itu sebulan yang lalu…,” jelas WooHyun-ssi dengan suara pelan dan lemah. Aku langsung mematung di tempatku dan berhenti mengguncangkan bahu WooHyun-ssi.
            Itu…, memang benar…?
            “Ah, aku lupa,” celetuknya pelan, lalu menaruuh kardus barang yang dibawanya dan merogoh saku celananya, dan memberikan sebuah amplop kecil berwarna biru kepadaku. “Igeo mwoya?” tanyaku bingung sambil menatap wajahnya. WooHyun-ssi membuka mulutnya, “Aku baru menemukannya tadi… Saat di rumah sakit, ia sempat sadar untuk kira-kira sepuluh menit, lalu ia bilang jika ia menulis surat untukmu, tapi ia lupa membawanya… Jadi, baru kuberikan sekarang… Kau baca saja sendiri,” tapi, kalimat terakhirnya itu terdengar sangat menyebalkan di telingaku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar, masih tidak percaya dan belum berani menerima kenyataan bahwa ______ memang telah meninggal.
            “Beritahu aku dimana makamnya, aku akan membacanya nanti di rumahku.”
^^^^^^^
            “______-ah…,” gumamku pelan saat aku melihat fotonya yang sedang tersenyum lebar di dekat makamnya. “Kenapa kau meninggalkanku…? Kenapa secepat ini…?” lanjutku dengan suara bergetar sambil mengelus fotonya. “Kau berjanji untuk tidak meninggalkanku… Tapi, kau meninggalkanku lebih dulu… Kenapa ______-ah…? Kenapa…?” erangku, air mataku mulai berjatuhan.
            Shit,” umpatku pelan sambil menghapus air mataku.
            “Maafkan aku kalau aku selalu menyakitimu, menyalahkanmu tanpa sebab, dan selalu kasar padamu… Kau tahu…? Aku ingin mengubah hubungan kita…, tapi…, tampaknya aku berpikir terlalu lama…, hingga akhirnya aku belum bisa…, mengubahnya menjadi lebih baik…,” ucapku pelan sambil sesekali menghapus air mataku yang tetap berjatuhan.
            Ani SungKyu-ah… Kau tidak salah,” seseorang berbicara denganku, tapi aku tidak bisa melihatnya, aku hanya bisa mendengarnya. Suaranya sangat familiar denganku. Perempuan dengan suara pelan dan lemah.
            ______.
            “______-ahNeon eodiga…?” tanyaku pelan. Tapi, tidak ada jawaban.
            “______-ah…?” ulangku bingung dengan yang barusan itu.
            Neon eodiga…?”
            “Baiklah, kalau begitu… Kau selalu bersembunyi dariku.” Aku bangkit setelah beberapa menit memikirkan apa yang terjadi tadi, lalu menaruh bunga dan beberapa barang kesukaannya di depan makamnya.
            “Semoga kau tenang di sana, tunggulah aku sampai aku menyusulmu… Aku berjanji aku tidak akan mencari wanita lain selain dirimu karena kaulah cinta pertama dan terakhirku… Sekali lagi, aku minta maaf untuk segalanya, karena perbuatanku padamu selama kau masih hidup di dunia ini… Tdak ada keindahan yang lebih undah di dunia ini selain kebersamaan lta yang dulu sebelum sifat kasarku ini muncul… Terima kasih untuk segalanya ______-ah, terima kasih untuk selalu sabar menghadapiku, dan terima kasih untuk selalu berada di sampingku… Dan maaf, aku baru mengunjungimu sekarang karena aku baru pulang dari Inggris setelah aku lulus dari status mahasiswaku…Kau bangga, kan, pacarmu ini sudah sarjana? Kuharap kau senang akan prestasiku, ______-ah… Nah, aku pergi dulu… Istirahatlah dengan tenang, naneol saranghae, yeongwonhi saranghae…,” ucapku panjang lebar, lalu mencium makamnya dan pergi.
^^^^^^^
            “Oh…, aku lupa.” Aku baru teringat jika WooHyun-ssi memberikanku surat dari ______ untukku. Aku pergi ke kamarku, lalu mengunci pintu kamarku dan merogoh saku jaketku. “Ketemu,” gumamku senang, lalu berjalan menuju kasurku dan duduk di sana sambil melihat tulisan di depan amplop tersebut.
            Untuk: Kim SungKyu-ku yang sangat kusayangi dan kucintai.
            Aku tersenyum saat membaca tulisannya tersebut, lalu mulai merobek amplop tersebut, dan mengeluarkan selembar kertas putih bermotif polkadot. Aku terkekeh pelan saat aku ingat betapa sukanya ia dengan motif polkadot/ Aku mulai membaca surat itu dari awal, mataku tidak berkedip sedetik pun saat membaca suratnya, dan kini aku merasa aku ingin menangis lagi setelah membacanya.
            Kim SungKyu…,
            Annyeong, jal jinae? Kuharap kau baik-baik saja, tidak sepertiku yang memiliki keadaan tubuh lemah yang selalu membutuhkan pil penenang sialan itu.
            SungKyu-ah…,
            Kau tahu? AKu sudah menyukaimu sejak kelas 3 SMP, tapi aku baru memberanikan diriku saat awal SMA hingga sekarang, 3 SMA. Dan kau tahu? Meski pun aku selalu mendapat perlakuan kasarmu, aku selalu menerimanya dan senang, karena meski pun di balik semua itu, aku tahu kau sebenarnya mencintaiku dan selalu mengkhawatirkanku. Terima kasih untuk itu.
            SungKyu-ah…,
            Sebenarnya, aku tidak ingin menceritakan ni pada siapa pun, termasuk kau… Tapi, karena sewaktu-waktu serangan jantungku kambuh, dan tidak bisa menjelaskannya lagi padamu, maka akan kujelakan semuanya, dari awal.
            Aku didiagnosa mempunyai hemophilia, masalah dengan ususku, dan serangan jantung. Aku mengetahui itu saat akan ujian kelulusan kelas 3 SMP kemarin. Kau kaget kan, aku mempunyai penyakit parah seperti itu? Begitu pun aku, aku mengetahui itu saat akan ujan kelulusan yang membuatku tambah depresi. Aku harus selalu berhati-hati agar tidak terluka. Kau tahu kan, jika penderita hemophilia sepertiku, jika terluka, maka luka darah yang dikeluarkan akan terus keluar hingga kekurangan darah, dan yang paling parah adalah meninggal. Dan ternyata, semua penyakit itu keturunan dari ayah dan nenek dar ayahku. Itu sangat mengerikan.
            SungKyu-ah, mungkin kemarin aku berjanji aku tdak akan meninggalkanmu. Tapi, suatu hari nanti, takdir akan mengatakan hal yang berkebalikan dari yang aku janjikan kemarin dan aku tidak tahu kapan itu akan terjadi. Meski pun nanti aku telah tiada, tapi, carilah wanita lain yang lebh pantas menemanimu hingga akhir hayatmu nanti! Mungkin aku adalah cinta pertama dan terakhirmu, tapi, kau harus menemukan yang lain untuk menggantikanku, selalu menemanimu. Aku yakin, kau akan melupakanku, tapi jika tidak, itu akan lebih baik untukku.
            SungKyu-ah, sekali lagi, terima kasih untuk segalanya. Kau bilang, kau akan melanjutkan studimu ke Inggris, ya? Kalau begitu, semangat! Kuharap kau akan memperoleh hasil terbaikmu di sana. Meski pun kau akan pergi ke Inggris dan harus pergi meninggalkanku di Korea, tapi, aku akan selalu mengingatmu.
            Mungkin tu saja, SungKyu-ah… Atau mulai sekarang aku harus memanggilmu dengan sebutan “oppa”, seperti pasangan-pasangan yang lain? Hahaha… Baiklah, SungKyu oppa, bersenang-senanglah, jaga dirimu baik-baik, dan terima kasih untuk tiga tahun ini! Aku mencintaimu! Dan jangan lupa ingat tanggal ini ya, 14 Maret 20xx, hari dimana saat itu kau mengajakku untuk menjadikanku pacarmu saat White Day, itu adalah hari yang paling membahagakan seumur hidupku!
            Annyeong, SungKyu oppa, semoga kau sehat selalu. Sekali lag, aku mencintaimu.
Dari orang yang selalu kau sayangi dan kau cintai,
______
            Air mataku kembali tumpah, tetesan airnya jatuh mengenai kertas surat tersebut. Tiga penyakit parah, menyuruhku untuk mencari wanita lain, membuka kedokku, menyayangi dan mencintaiku, dan yang lebih penting…
            Tanggal itu…
            “Aku tdak akan mencari wanita lain, dan aku akan selalu mengingat tanggal itu seumur hidupku, bodoh… Sialan…,” umpatku pelan di selingi isakan tangisku yang mulai menjadi karenanya.
            “Dan yang lebih penting…, aku akan selalu mengingat dirimu, di setiap langkah dan nafasku, sampai akhir hayatku… Nado neol saranghae, yeongwonhi saranghae, ______-ah… Terima kasih untuk semua kebaikanmu padaku di dunia ini, dan maafkan aku…,” lanjutku pelan, lalu menghapus airmataku lagi, bangkit dari dudukku, masih menggenggam surat itu, dan berjalan menuju dinding kamarku.
            “Di mana selotip itu?” gumamku pelan sambil mencari-cari selotip yang sedang kucari di mejaku. “Oh,” celetukku pelan. Aku meraih selotip itu, lalu merobek sedikit selotip itu, dan menempelkan selotip pada kertas surat itu, dan menempelkannya di dindingku. Aku berkacak pinggang dengan puas saat melihatnya.
            “Dari semua hadiah yang kau berikan padaku, hanya kehadiranmu di hadapanku dan surat ini hadiah yang berkesan di hidupku. Annyeong, ______-ah, semoga kau tenang di sana. Tunggulah aku.”
END
A/N: Yosh, deudieo kkeutnayo (akhirnya selesai)! Sekali lagi, maaf kalo ini nggak sad banget, aku udah berusaha semaksimal mungkin buat bkin sad tapi kayaknya nggak sad ya?TT.TT Tapi, semoga kalian menikmati FFnya. Annyeong! *ppyong*

No comments:

Post a Comment