Saturday, 15 November 2014

I Miss You So Bad, My Hope (Voice Mail sequel story)


Title           : I Miss You So Bad, My Hope (sequel Voice Mail: J-Hope)
Casts          : Jung HoSeok, you (readers), Min YoonGi (cameo)
Genre         : Romance, sad, angst
Length       : Drabble (1.608 words)
Summary   : Dan saat ia kembali, kau mengingat semua kejadian yang kau alami saat bersamanya di masa lalu—saat-saat bahagia dan saat-saat surammu.
Foreword   : Kkeuang~ akhirnya bikin sekuel Voice Mail~ maaf ya klo pas baca FF ini agak bingung, soalnya alurnya campur (maju+flashback)T.T mungkin ini agak sedikit yadong, nggak papa kan? Huehuehuehue~  happy reading~


“Kau… Kapan kau—mmph!” kata-kataku terputus karena tiba-tba saja ia menciumku dengan kasar. Ia memeluk pinggangku, menyuruhku untuk mendekat padanya. Aku masih membelalakkan mataku, tapi kelamaan aku membalasnya, dan bisa kurasakan air mataku mengalir dari pelupuk mataku.
            Aku sangat merindukannya.
            “Jangan menangis…,” gumamnya pelan, lalu menghapus air mataku. Aku menggeleng.
            “Aku tidak bisa… Aku sangat merindukanmu…,” balasku, lalu memeluknya dan meremas kemejanya erat. Ia menganggukkan kepalanya.
            “Aku tahu… Aku juga sangat merindukanmu, _______-ah…”
¤¤¤¤¤¤
            “Heeeeei! Aku masih menulis catatanku! HEEEEEI!!!” seruku saat tahu-tahu nuku catatan Sejarah yang sedang kutulis untuk merangkum pelajaran diambil oleh lelaki itu. Lelaki usil itu hanya menjulurkan lidahnya, lalu menaruh buku catatanku di atas mejanya. Aku memelototkan mataku padanya, lalu mulai berdiri dari kursiku.
            “KEMBALIKAN!!!” jeritku dan mulai mengerjakan saat tahu-tahu ia kembali mengambil buku catatanku dari mejanya dan berlari ke luar kelas.
            “JUNG HOSEOK!!! KEMBALIKAN!!!” jeritku lagi, berusaha menghentikannya. Tapi, lelaki usil itu terus saja berlari hingga ia masuk ke sebuah belokan. Aku mengikuti arah larinya dan masuk ke belokan itu, tapi saat aku masuk ke belokan itu, aku malah menemukan hasil yang nihil.
            Laki-laki usil itu tidak ada.
            Aku berkacak pinggang dengan napas yang terengah-engah, lalu berjalan menuju tembok yang ada di belakangku dan menyandarkan punggungku pada tembok itu—karena aku juga kelelahan.
            “Dimana pula anak itu…? Selalu saja membuatku harus terus-terusan mengejarnya karena tingkah usilnya itu… Dasar…!” keluhku, lalu menghembuskan napasku ke poniku.
            “Argh sudahlah… Lebih baik biarkan saja anak itu… Tidak mau mengakui kesalahannya sendiri…!” gumamku, lalu memajukan badanku lagi dan hendak berjalan keluar dari lorong belokan itu. Tapi, tiba-tiba aku mendengar ada suara langkah kaki dari arah kananku. Aku menolehkan kepalaku, dan mendapati lelaki itu sedang berjalan dari tempat persembunyiannya—yang ternyata adalah tumpukan kardus barang-barang sekolah yang tidak digunakan lagi.
            Ia berjalan mendekatiku yang membuat punggungku kembali mengenai tembok itu lagi dan tidak bisa pergi kemana-mana. Aku merasakan tanganku mulai berkeringat, dan keberaniannku menciut seiring makin dekatnya jarakku dengan jarak lelaki itu. Lelak itu menyeringai, lalu mengurungku dengan kedua lengannya. Aku meneguk liurku dengan susah payah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mendongakkan kepalaku dan melihat wajah lelaki itu.
            Sangat rupawan meskipun ada sedikit wajah nakal dari keseluruhan wajahnya. Rambutnya yang sedikit berantakan membuatnya sangat keren, tapi juga memberikan kesan yang sangat nakal.
            Keseluruhannya, anak ini sangat tampan tapi anak ini adalah anak yang nakal. Siapa lagi kalau bukan sahabatku sejak kecil dan orang yang sudah sangat kusukai sejak awal.
            Jung HoSeok.
            Ia kembali menyeringai sebelum akhirnya ia membuka mulutnya saat melihatku mulai ketakutan.
            “Akhirnya kutangkap juga, _______, kucing kecilku yang paling manis…,” ucapnya, lalu mendekatkan wajahnya pada wajahku.
            “Aku mencintaimu…,” bisiknya dan menciumku.
            Aku membelalakkan mataku saat tahu-tahu bibirnya telah menempel dengan sempurna di bibirku.
            Aku tidak percaya dengan semua ini.




            Ia…, menciumku…



            Tepat di bibirku…
            “Mmh…,” desahku pelan saat ia mulai melumat bibirku lembut. Ia terus melumat bibirku dan beberapa detik kemudian ia melepaskan ciumannya. Aku masih diam terpaku di tempatku dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya padanya.
            “K…, kau…? Benar-benar—“
            “Ya, aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu, _______-ah… Kau mau jadi pacarku…?” tawarnya yang membuatku membekap mulutku sendiri; merasa terkejut, senang, dan terharu, Aku menganggukklan kepalaku, masih membekap mulutku sendiri.
            Kukira cintaku padanya yang mulai tumbuh sejak SMP sampa SMA ini cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ternyata tidak.



            Ia mencintaiku—benar-benar mencintaiku.


            Lelaki itu memelukku erat dan langsung kubalas. Ini sebuah keajaiban, kenyataan, dan bukan mimpi. Kalaupun ini hanyalah sebuah mimpi belaka, aku akan berharap dan meminta kepada orang-orang agar tidak membangunkanku dan membiarkanku untuk terjebak di dalam mimpi ini selama-lamanya.
            “Selamat datang di duniaku, _______-ah…”
¤¤¤¤¤¤
            “HoSeok!” seruku saat aku melihatnya sudah terkapar lemah di atas ranjang rumah sakit yang diberitahu oleh salah satu temannya, Min YoonGi. Memang, sudah beberapa minggu ini lelaki ini tidak masuk ke sekolah, tetapi teman-temannya tidak mau memberitahuku kenapa lelaki ini tidak masuk ke sekolah setelah akhirnya aku memaksa YoonGi untuk memberitahu kenapa dan ternyata lelaki ini sakit. Aku memaksanya memberitahu dimana rumah sakit tempat lelaki ini dirawat, dan langsung pergi ke rumah sakit ini. Di sinilah aku berada.
            Ruang inap nomor 1412.
            Lelaki itu mengalihkan pandangannya padaku, tapi kemudian ia kembali menatap kosong ke langit-langit kamar ruang inapnya. Aku langsung menghampirinya dengan tatapan khawatir.
            “Kau…, kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau memiliki—“
            “Maafkan aku, tapi aku tidak ingin membuatmu khawatir… Aku sengaja merahasiakannya darimu… Sekali lagi maafkan aku, _______-ah… Penyakit ini sudah kuketahu sejak SMP kelas 2 kemarin…, dan itu membuatku frustasi…,” jelas lelaki tu singkat dengan nada lemah dan bersalah. Kurasakan aur mataku mulai mengalir dan menggelengkan kepalaku, tidak tega jika melihatnya menderita seperti ini.



            Kanker darah.
            Semua itu menyebabkan semua kehidupannya berubah. Pelajaran, aktivitas luar dan dalam sekolah, dan masa depannya.
           

            “_______-ah…,” panggilnya dengan suara lemah. Aku mendongakkan kepalaku, air mataku masih mengalir. Ia tersenyum lemah, lalu menghapus air mataku. Aku memegang tangannya.
            “Jadilah wanita yang baik dan kuat dengan kondisi dan suasana apapun… Jika aku sudah tidak ada, jangan bersedih terus, karena masih banyak lelaki lain di seluruh Korea ini—atau mungkin di seluruh dunia ini yang lebih pantas daripada aku… Aku mencintaimu, _______-ah… Sudah dulu ya, aku ingin tidur dulu… Aku mengantuk sekali… Selamat tidur, _______...,” ucapnya, lalu menutup kedua matanya. Dan saat ia menutup kedua matanya, entah kenapa, aku merasakan ada firasat buruk yang menghinggap di diriku.
            “HoSeok…,” panggilku, mencoba untuk mengubah firasat burukku menjadi firasat baik yang menyatakan bahwa ia hanya tidur biasa dan tidak meninggalkanku. Tapi, ia tidak bangun.
            “HoSeok…!” panggilku lagi, tapi dengan suara yang agak keras. Dan ia tidak kunjung menjawab panggilanku.
            “HOSEOK!” jeritku, dan…,


            Ia tidak pernah menjawab panggilanku lagi, untuk selama-lamanya.


            Aku mulai menangis lagi, tidak menerima semua kenyataan ini. Tapi, ini benar-benar fatal, dan semua ini sudah tidak bisa diubah kembali seperti semula.
            Aku menangis sejadi-jadinya, sementara para suster dan seorang dokter pria mulai berdatangan ke ruangan ini setelah kutekan bel pemanggil darurat. Dokter pria itu memasang wajah muram setelah melihat kondisi lelaki yang telah berbaring kaku di ranjangnya tadi dan menepuk pundakku.
            “Maafkan saya, Nona… Tapi, dia sudah benar-benar meninggal dunia… Kami sudah melakukan usaha terbaik kami saat kemoterapinya, tapi sekali lagi, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Nona karena kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya…”
¤¤¤¤¤¤
            “Sudahlah, _______-ah… Kalau kau menangis terus, bagaimana bisa HoSeok beristirahat dengan tenang di dunia sana…?” ujar YoonGi, mencoba menenangkanku saat berada di pemakaman lelaki yang kucintai itu. Aku masih sesenggukan, sementara acara pemakamannya hampir dimulai.
            “Mana bisa…, aku merelakan orang yang sudah kucintai sejak SMP…? Huaaa YoonGi-ah apa yang harus kulakukan…?!” seruku tertahan, lalu kembali menangis. YoonGi hanya mengelus kepalaku.
            “Kalu lebih tidak rela yang mana saat ada yang meninggalkanmu untuk selama-lamanya? Yang telah merawat serta membesarkanmu sejak kau kecil atau yang telah kau cintai sejak SMP?”
¤¤¤¤¤¤
            “Tapi…, bagaimana bisa kau ada di sini…?” tanyaku setelah lelaki—bayangan—itu melepaskan ciumannya. Lelaki itu terdiam sejenak, lalu mulai membuka mulutnya.
            “Bisa dibilang aku diturunkan dalam bentuk bayangan ini hanya untuk emnyampaikan pesan-pesan yang belum tersampaikan padamu… Sebenarnya, waktuku kembali ke dunia ini juga tidak lama… 15 menit lagi, aku akan menghilang lagi—untuk selama-lamanya…,” jelasnya singkat yang membuatku membelalakkan mataku tidak percaya saat mendengar penjelasan singkatnya.
            “Apa…?! Kau…, kau hanya punya waktu 20 menit di dunia ini…?” tanyaku terkejut. Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya dengan berat hati.
            “Maafkan aku, _______-ah… Aku tahu, aku tidak punya banyak waktu di duna ini—baik sebagai manusia seutuhnya maupun sebagai bayangan… Tapi, aku mohon padamu…, jangan terus-terusan menangisiku dan jangan mencoba untuk membunuh dirimu sendiri… YoonGi benar, yang harus tdak kau relakan saat ada orang yang meninggalkanmu selama-lamanya adalah orang yang telah membesarkanmu sejak kecil—orang tuamu, _______-ah… Bukan aku… Boleh kau menangisiku, tap jangan sampai seperti ini… Apakah kau tidak lelah terus-terusan menangisiku…? Lelah, kan…? Makanya, aku ingin kau mencari lelaki yang lainnya, _______-ah… Aku mohon dengan sangat padamu…,” jelas lelaki itu dengan nada sedih, Aku menggelengkan kepalaku.
            “Aku tetap tidak bisa… Aku sudah mencintaimu terlalu dalam… Aku…, aku tidak bisa menyukai lelaki yang lainnya, karena…, kau selalu menguasai seluruh isi hatiku… Dan…, aku sangat ingin kau kembali menjadi manusia seutuhnya, itu satu-satunya harapanku… Kau adalah harapanku…,” ucapku pelan, tapi kemudan lelaki itu mengangkat daguku. Ia tersenyum lemah, lalu menggeleng.
            “Tidak akan pernah bisa, _______-ah… Kecuali jika kita bertemu lagi di dunia sana… Dan aku mengerti kalau aku telah menguasai seluruh isi hatimu, tapi…, kau juga harus memberikan perasaanmu pada yang lainnya… Kau mengerti, kan, _______-ah…?” tanya lelaki itu, tapi aku membisu.
            “Kau ingin melakukan semua permohonanku, kan, _______-ah…?” tambah lelaki itu. Aku mengalihkan pandanganku dari matanya ke arah kasurku, merasa tidak yakin dengan semua permohonannya padaku.
            “________-ah…?” panggilnya pelan. Aku tidak kunjung menjawabnya.
            Dan siapa sangka, waktu berputar begitu cepat. Saat aku melihat jam dinding, jam dinding itu sudah menunjukkan pukul 11:55 malam, menandakan bahwa 5 menit lagi, lelaki itu akan meninggalkanku selama-lamanya dan tidak akan pernah kembali lagi padaku.
            Aku menelan liurku susah payah, lalu menganggukkan kepalaku dengan terpaksa yang membuat senyuman lelaki itu mengembang. “Terima kasih, _______...,” ucapnya, lalu memelukku. Aku balas memeluknya erat dan melihat jam dinding kembali, dan menunjukkan hanya tersisa 2 menit lagi, ia akan pergi.
            Pats!
            Bisa kurasakan yang kupeluk tadi hanyalah seperti sebuah angin. Sedikit demi sedikit, bayangan yang kupeluk ini mulai menghilang. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan tatapan teduh—tapi tersirat sedikit tatapan sedih pada wajahnya.
            “_______-ah… Sepertinya, aku harus benar-benar pergi sekarang… Jaga dirimu baik-baik, mengerti…?” ucapnya, lalu ia mendekatkan wajahnya padaku dan menciumku.
            Ciuman terakhirku dengannya di dunia ini.
            Aku menganggukkan kepalaku, dan sedetik kemudian, yang kupeluk hanyalah diriku sendiri. Tidak ada lagi laki-laki itu. Aku memeluk tubuhku dengan erat, sementara jam dinding menunjukkan pukul 12:00 malam dan aku masih belum beranjak dari tempatku.


            “Ya… Aku akan menjaga diriku baik-baik, HoSeok… Terima kasih telah datang di duniaku selama satu tahun ini dan selamat beristirahat…”

END
a/n: hiiiing akhirnya selesei~*^3^* aaah kok aku baca FFku sendiri pasti suka ngerasain gimana-gimananyaT.T ah yang penting para readers juga menikmati FFku ini~ ppai semua~!

Thursday, 6 November 2014

Voice Mail


Voice Mail
Casts       : You (Readers), Jung HoSeok (J-Hope BTS)
Genre      : Romance, sad, mystery(?)
Length     : Drabble (479 words)
Summary : Saat kau mengiriminya sebuah pesan suara, dan kejadian aneh menyapamu.
Foreword : FF ini kubuat di hpnya adekku, dan awalnya dia sempet protes sampe pas hari Senin 3 November 2014 sore kemaren aku buat lagi di hpnya dan sempet ketauan, terus dibaca dan endingnya…, baca aja deh! Happy reading!
  Piiip!
             “Oh, hai… Apa kabar? Semoga kau baik-baik saja di sana…
            Kesepian? Jelas.
            Kerinduanku padamu? Jelas.
            Keputusasaan? Jelas.
            Semua itu mulai muncul saat kau tidak berada di sampingku lagi. Setiap hari, yang kulakukan adalah menangis di pojok kamar, mendengarkan lagu dengan volume suara yang keras, dan hanya memakan makanan dengan porsi yang sangat sedikit.
            Aku sempat didekati oleh beberapa temanmu, seperti Kim NamJoon, Min YoonGi, Kim TaeHyung, dan Park JiMin. Tapi, aku menolak mereka semua dan hanya menganggap mereka sebagai temanku, karena aku ingin setia padamu. Dan aku selalu berpikir menginginkan dirimu lag, meskipun itu kedengarannya sangat tidak masuk akal.
            Kau, kau jangan menangisiku. Cukuplah aku saja yang menangisimu.
            Sering sekali aku keluar-masuk rumah sakit, karena aku ingin bunuh diri, entah dengan cara apapun. Tapi, teman-temanmu itu selalu menolongku dan terus-terusan mengingatkanku agar aku tidak bunuh diri hanya karena dirimu.
            Hati kecilku juga berkata demikian.
            Lalu, mereka selalu menasihatiku agar aku mencari lelaki yang lain dan jangan terus-terusan menangisimu. Tapi aku tidak bisa, karena perasaan cintaku padamu terlalu dalam sehingga aku tidak bisa melupakanmu barang sedetik pun.
            Melihat wallpaper ponselku saja—gambarnya adalah kau dan aku saat pertama kali kita kencan di restoran es krim—aku sudah menangis. Apalagi kalau aku bertemu denganmu lagi. Aku akan memelukmu erat-erat dan tidak akan membiarkanmu pergi lagi dari sisiku, dan menangis haru, meluapkan rasa rinduku padamu selama ini. Tapi—sekali lagi—pemikiran itu sangat tidak masuk akal.
            Andai aku bisa memutar waktu dan mengembalikanmu kembali padaku, tentu aku tidak perlu sampai begini. Merasa tersiksa oleh semua keadaan yang ada dalam hidupku.
               Oh iya, sekarang aku tinggal di apartemenmu yang dulu. Apartemenmu tetap nyaman, tapi mungkin akan lebih nyaman lagi jika kau ada di dalam apartemenmu itu.
            Aku kabur dari rumah orangtuaku, karena orangtuaku selalu bertengkar setiap malam dan itu selalu mengusikku. Bahkan, mereka sepakat untuk bercerai. Nahas sekali, kan, keadaanku ini?
            Memang.
            Dan rasa dari semua kenyataan ini sungguh pahit, lebih pahit daripada jika kau meminum secangkir kopi hitam pekat yang panas tanpa gula sesendok—atau sebutirpun.
            Aku ingin sekali kabur—atau lebih tepatnya menghilang dari kenyataan ini, lalu menemukan hidupku yang baru di dunia yang baru dan tinggal di sana dengan bahagia. Yaaah…, tapi itu sangatlah mustahil, angan-angan yang mustahil. Kau juga tahu tentang itu.
            Jung HoSeok…
            Kapan kita bisa bertemulagi…? Aku sangat merindukanmu…
            Jung HoSeok…
            Mungkin itu saja dulu, ya, yang ingin aku sampaikan padamu… Aku akan selalu mendoakanmu dari bawah sini, dan semoga kau mendengar doaku dan tersenyum dari atas sana…
            Aku mencintaimu…
                Dari _______...”
            Piiip!
            Aku menghela napas setelah berbicara panjang lebar di pesan suara itu, tapi sedetik kemudian, ponsel yang kugunakan untuk mengirimkan pesan suara itu berdering tanda telepon masuk.
                “Hai juga, _______-ah… Aku juga merindukanmu…,” ucap suara di seberang, tapi entah kenapa, jaraknya sangat dekat denganku. Aku menolehkan kepalaku dan melihatnya yang sedang tersenyum manis padaku, sama seperti senyuman yang selalu ia berikan padaku dulu.
                 “Kau…?”
END
A/N: Kkeuaaaaak selesei~ o(^^)o maaf banget klo nggak suka sad genre dan bagi yang suka sad genre, maaf banget klo ini kurang sad T.T dan terima kasih udah baca FF ini, dan comments kalian sangat membantu buat mengoreksi FFku yang selanjutnya. Sekali lagi terima kasih^^ ppyong~!

Tuesday, 4 November 2014

The Loving Ghost


The Loving Ghosts
Cast : G-Dragon, Ahn Mira (OC), Choi TOP, Taeyang (cameo)
Genre : murder(?) /romance
Length : viclet/drabble (sebenernya bingung bedanya viclet sama drabble.-.)
A/N : Author lagi bingung mau nulis apa =_= tapi yang jelas, nih ff sebenernya udah lama tercipta(?) sekitar 6 jam sebelum mulai UTS. Bayangin deh~Author nggak banyak belajar nyiapin hari pertama itu. Mian, di ff kali ini Author nggak bisa ngasih poster, tapi Author janji besok-besok kalo udah diedit bakal dikasih poster! OK, happeh reading and pls respect!!
***
-Jiyong's POV-
Seoul Int Middleschool, IX-3. Kelasku sedang ramai, karena hari ini kebetulan guru-guru ada rapat. Aku pergi ke perpustakaan, mencari buku distopia Amerika terbaru.
Seorang yeoja berwajah pucat menghampiriku. “Jiyong Oppa, apa ada yang bisa kubantu?” tawarnya ramah. Siapa dia, bagaimana dia bisa tau namaku? Agaknya aku tidak melihatnya dari tadi. Wajahnya familier, tapi aku tak bisa mengingatnya dengan jelas.
Ah, mungkin dia dari lorong lain, batinku. “Ah, ne... Apa kau tau, di mana aku bisa menemukan buku distopia Amerika terbaru?” aku mencoba sesopan mungkin.
“Yah... Entahlah, tapi yang aku tau, di... Rak 813-2 lorong 9 deret ketiga dari atas, letaknya paling pojok. Ada buku cetakan 2013 berjudul Dark Places karangan Gillian Flynn—sepanjang tahun buku itu tidak pernah disentuh oleh siapapun, kecuali oleh aku dan Oppa setelah ini.” yeoja itu menuntunku ke rak yang dimaksud. Di situ ada sebuah buku berjudul Dark Places.
Aku tersenyum melihatnya. “Gomapta... Emm, siapa namamu?”
“Ahn Mira,” jawabnya singkat.
“Oh~gomapta, Mira...” semula aku ingin membacanya di kelas, tapi karena Mira sendirian, aku tak sampai hati meninggalkannya di sini. Apalagi wajahnya pucat begitu.
“Oppa, kau kelas berapa?” ia bertanya, membuyarkan fokusku pada novel yang kubaca.
Aku mengangkat wajahku. “Kelas IX-3. Kau sendiri kelas berapa?”
Mira tampak berpikir sejenak. Aku memandangnya aneh. Maksudku, untuk apa berpikir saat seseorang menanyakan kelasmu? Yah~tapi itulah dia. Manis, ramah, periang. Tapi wajahnya pucat dan penuh rahasia, seakan sesuatu terjadi padanya.
“Seharusnya aku kelas IX-4...” aku menggumamkan 'ah' panjang yang terhenti oleh helaan nafasnya. Yeoja berwajah pucat itu meneruskan kalimatnya. “Tapi, sesuatu terjadi saat pengumuman kenaikan kelas. Oppa, kau tau Choi Seunghyun?”
Aku mengingat-ingat nama itu. Choi Seunghyun... “Aha! Seunghyun kelas XII-7. Harusnya dia sudah kuliah, tapi tahun lalu dia tidak lulus. Dia benar-benar bajingan! Tahun lalu ia membunuh seorang anak kelas X. Kurang ajar betul dia itu! Padahal yang dibunuhnya itu... Nae yeojachingu.” Amarahku membuncah saat membahas Choi Seunghyun. Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Mataku sudah terasa panas.
*flashback*
-Author POV-
Seorang namja—Choi Seunghyun—menyiapkan tambang, pisau lipat, dan pecahan beling, yang disembunyikannya di rak tertutup di perpustakaan.
Tepat saat itu, yeoja—Ahn Mira—masuk ke perpustakaan dan pergi ke lorong di mana Seunghyun berada untuk mengembalikan novel Dark Places yang selesai dibacanya. Dengan cepat, namja berandal itu menciumnya. Di tengah ciuman anak sekolah-nya, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat. Dari belakang, disayatnya nadi leher Mira hingga mengeluarkan darah dan pingsan seketika. Ia meletakkan yeoja itu di lantai dan membuat beberapa luka lagi di tubuhnya dengan pecahan beling serta mencekiknya dengan tambang. Darah merembes keluar dari seragamnya.
Keesokan harinya, semua orang berkerumun di perpustakaan. Mereka menemukan Ahn Mira tewas dengan darah yang sudah mengental menodai lantai perpustakaan. Namja bernama Kwon Jiyong menitikkan air mata dan segera berlari meninggalkan kerumunan orang-orang. Semua orang tau, Ahn Mira adalah kekasih Kwon Jiyong. Tak heran jika sang namja begitu terpukul atas kejadian ini.
*flashback end*
-Jiyong’s POV-
“Dan anak itu itu sedang bicara denganmu saat ini,” ujarnya pelan padaku.
Aku mengangkat wajah dan tersenyum tipis—atau tepatnya, tersenyum sendu. Semenit kemudian aku mencerna kata-katanya dan sikapnya yang akrab sedari tadi. “Jadi, kau... Dan yang dibunuh Seunghyun itu...”
“Geure,” selanya sebelum aku menghabiskan kalimatku.
“Tapi, di situs sekolah...” aku mencoba membantah.
Mira menggeleng dan menyela perkataanku lagi. “Itu aku. Jeongmal,” tegasnya, lalu mengambil nafas. “Aku lahir di Korea, saat usiaku 5 tahun aku pindah ke Amerika. Nae Appa seorang keturunan Tiongkok. Nae Eomma asli Korea. Aku besar di Amerika karena Appa mendapat tugas diplomat ke sana. Rumit bukan?” ceritanya panjang lebar.
“Oh, geunde...” akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutku.
“Oppa, neoreul saranghae, yeongwonhi...”
“Naega do neoreul saranghae... Aku akan menyusulmu suatu saat nanti...” ujarku menatap manik matanya dalam-dalam.
Air muka yeoja ‘hantu’ itu berubah khawatir. “Chajima! Aku ingin kau tetap hidup dan terus berkarya bagi dunia, Oppa!”
“Tapi, bagaimana denganmu...? Lalu Seunghyun juga, geu...” aku berujar dengan agak terbata-bata.
“Biar Tuhan memberi balasan yang setimpal padanya.” Yeojachingu-ku itu—atau katakanlah mantanku—tersenyum manis.
Aku balas tersenyum padanya. “Ah... Geure. Semua biar Tuhan yang mengatur.”
Keesokan harinya...
“Jiyong-ya, bisa kau cetakan buku latihan ini?” ujar Youngbae teman sebangkuku saat pelajaran. Ia menyerahkan sebuah USB device padaku.
“Jigeum?” tanyaku singkat tanpa menatapnya. Aku terus mencatat materi di papan tulis.
“Ani. Nanti saja saat break.”
“Arasseo.” Aku membalik halaman baru dan menulis nama Ahn Mira di atasnya. Hari ini adalah hari kematiannya.
“Ah~nama itu! Kau masih belum sanggup melupakannya ne?” Youngbae bertanya. Rupanya dia memperhatikan bukuku.
“Ani... Hanya teringat saja. Aku memimpikannya semalam,” elakku tapi jujur. Aku memang memimpikannya semalam
“Heu~kau ini!” cibirnya sambil berdiri. Yoon Songsaengnim sudah keluar. Aku ikut berdiri dan menutup buku tulisku. “Yah~sudah ya. Tolong jangan lupa cetakan buku itu!” Youngbae keluar bersama seorang temannya.
Aku diam saja, berjalan ke perpustakaan. Mencari printer dan mengharapkan kemunculan Mira. Tapi kuurungkan niatku saat melihat perpustakaan terkunci rapat. Pilihan terakhirku adalah pergi ke outdoor printing seberang sekolah.
Aku menyebrang jalan. Tiba-tiba dari arah kanan sebuah mobil sport warna clean silver melaju kencang. Aku tak sempat menghindar. Akhirnya akhir, pandanganku mengabur, dunia menjadi gelap. Nae du nuneul gameunda.
Yeongwonhi.
-Author POV-
Malam itu, rumah Jiyong dipenuhi kerabat dan famili yang berdatangan. Sang kakak berlutut di samping peti mati seorang yeoja.
Kwon Jiyong.
Dia meninggal di tempat saat akan mencetak buku latihan karena tertabrak mobil.
Di kejauhan, sebuah mobil sport berwarna clean silver bernoda darah terparkir manis. Seorang namja duduk sebuah ruangan berbatas jeruji besi dengan air muka kesal—karena berada di tempat itu—dan menyesal. Choi Seunghyun.
Dia dikeluarkan dari Seoul Int Middleschool dan harus mendekam di penjara karena terlibat pembunuhan dua kali selama masa sekolah. Namja tengil itu menjadi headline koran sore di seluruh penjuru Korea.
*side story*
Di taman di alam lain...
“Mira... Will you marry me?” Jiyong berlutut di depan Mira sambil memegang sekotak cincin.
Tanpa ragu-ragu, ia mengambil cincin itu. “Yes, I will, Oppa.”
Chu~
Mereka berciuman mesra.
Tuhan telah mempersatukan mereka untuk bahagia di kehidupan berikutnya. 
-FIN-
Aneh ya? Iya -.- jujur aja Author bingung harus gimana… tapi nggak masalah kan, mati gitu ato semacamnya? Selama gak bunuh diri sih bagi Author pribadi it’s OK *bicara apa sih-,-* sebenernya Author punya alasan tersendiri pake setting perpustakaan. Salah satunya adalah posisi Author sebagai ex-asisten perpus dan outcast =_= trus alasan Author milih buku Dark Places adalah Nicholas Hoult. Ha. Ha. Ha. Krik krik. Krik krik.
OK, thanks udah baca karya Author. Dan thank you juga bagi yang respek ^^ aku cinta kalian, saranghanda!!