My Best Rival
Cast: DongYa
as main cast, Woohyun as cameo, yang lain cari aja sendiri~
Genre:
bromance (yaoi), sad, sedikit dibumbui friendship(?)
Length: 1s
(tembus 2500 words)
Rate: PG 14
A/N: yeeeee
jadiiii~nih ff Author bikin waktu mau latian ujian loh. Ceritanya Author lagi
smsan sama rival Author di sekolah, eh, dapet ide bikin ff! Tapi author-nya
normal kok~(baca genrenya =_=) engggg… nih ff sebenernya udah lama jadi, pas
ultah Dongu tercinta(?) mau dipost tapi terkendala fasilitas wifi dan waktu
Author yang kepepet latian ujian, kerja-kerja berbagai tugas dan UAS~so, maaf
kalo kelamaan. Akhir kata, happy reading n pls respect!
***
Suatu hubungan—yang tulus—itu tidak
memandang kedudukan.
Dan memang seperti itulah kami!
Aku mencintai sainganku. Sainganku itu
pun mencintaiku.
Sampai akhirnya…
***
ddww1122: “Annyeong, Lee Hoya-ah?”
Chat dari
seseorang ber-ID ddww1122 langsung muncul ketika aku signed in.
hoya1991: “Geure~nuguya?” balasku cepat. Aku heran… aku bahkan
tidak pernah menyebarkan ID-ku.
ddww1122: “Jang Dongwoo”
Oh,
Dongwoo-ah. Aku belum mengenalnya, meskipun yah, aku tau yang mana orangnya.
hoya1991: “Kau yang mengajak bertukar
ID waktu itu?”
ddww1122: “Yup. Saengil chukkahaeyo,
Hoya-ah!”
hoya1991: “Trims~tapi kau tau dari
mana?”
ddww1122: “Jangan berlagak bodoh,
deh.”
…
Ia mengirim
sebuah gambar screen capture. “Today is hoya1991’s birthday [say something to
hoya1991?]”
hoya1991: “Ya ampun, aku lupa. OK,
trims deh, kalau begitu!”
ddww1122: “Np. See you next time, Hoya-ah!”
<ddww1122 has signed out>
Aku
memandang ponselku kesal. “Menyebalkan~” gerutuku sambil meraup popcorn di
toples.
“He,
Hoya~kapan kau diet? Kerjaanmu cuma ngemil terus…!” omel kakakku Lee Hojae.
“Kau ini atlet dan…”
“Aku tau,
aku ini atlet dan tubuhku perlu dijaga. Aku tidak boleh makan sembarangan dan
aku harus menyempatkan diri untuk berlatih, apalagi sebentar lagi aku akan ada
olimpiade olahraga…”
“Kau
membantah ya?”
“Tidak~aku
hanya mengucapkan padaku sendiri apa yang Hyung serrrrring ucapkan padaku.”
“Jadi kau
mengingatnya?”
“Yah. Aku
ingat, tapi jangan harap aku menjalankannya seminggu ini, Hyung~”
“Terserah.
Kau sulit sekali, sih…” akhirnya Hojae Hyung menyerah dan masuk ke kamarnya.
Aku di meja makan masih mengurusi chat yang harus kubalas sambil memakan
popcorn.
Sebuah pesan
masuk saat aku memasukan popcorn ke-59 ke dalam mulutku.
From: <unknown number>
“Yah, maaf, dataku habis. Jadi aku sms kau saja!”
Received 20140328 4:59pm
Aku
membalasnya dengan cepat.
To: <unknown number>
“Siapa ini?”
Sent 20140328 5:00pm
…
Aaaaah si
unknown ini tidak membalas~menyebalkan! Akhirnya, 5 menit kemudian aku mengirim
pesan lagi ke unknown itu.
To: <unknown number>
“Yak kenapa kau tidak balas pesanku?”
Failed 20140328 5:05pm
…
Kenapa
failed begini? Oh~pulsaku tidak cukup. Aaaaah this is hell! Akhirnya petang itu
kuhabiskan dengan belajar dan pergi ke klub lari.
***
“Hoya-ah,
mian, aku baru baca pesanmu tadi ini…” Dongwoo langsung menghampiriku saat aku
masuk ke gym milik klub.
“Jadi yang
tadi itu kau? Dapat nomorku dari mana?” tanyaku heran. Soal ini sih, aku juga
tidak pernah menyebarkannya!
“Kau
menuliskannya di profil IDmu,” jawabnya sambil memasang wajah datar.
Gubrak. “Kau
stalker-ku? Aaaah kau ini menyebalkan!”
“Hoya-ah,
Dongwoo-ah!” panggil Woohyun Sonbae—pelatih kami—sebelum Dongwoo menjawab
pertanyaanku. “Kalian push up 15 kali. Jigeum!” perintahnya, menghukum aku dan
Dongwoo.
Dengan
langkah gontai aku berjalan ke matras(?) push up. Sekilas aku menangkap Dongwoo
yang memandangku kesal dari samping. “Ini semua salahmu!” sergahnya tiba-tiba.
“Apa?”
balasku setengah bodoh.
“Kau yang
berteriak menyebalkan!”
“Itu karna
kau memang menyebalkan!”
“Apa
katamu!?”
“Diam~~!!”
teriak Pelatih Nam yang lebih suka dipanggil ‘sonbae’ itu. “Karna tingkah
kalian yang kekanakan, kalian terpaksa harus melakukannya DUA kali lipat.”
“Jinjjaro?!”
pekikku dan Dongwoo bersamaan. Kami saling melempar deathglare satu sama lain.
Tanpa suara lagi, kami mengambil posisi siap di atas matras tipis.
“Hana, dul,
set, sijak!” Woohyun Sonbae memberi aba-aba hitungan. 1, 2, 3, 4, 5, 10 … 30!
“Keuman!”
Aku berdiri
dan merapikan pakaianku. “Mianhae, Sonbae…” ucapku lirih sambil tertunduk.
“Gwenchanha,
Hoya-ah~lalu bagaimana dengan Dongwoo-ah?” balasnya kalem sambil memandang
Dongwoo. Yang dipandang hanya diam, melihat hal lain di sekitarnya.
“Dongwoo-ah, tidakkah kau akan minta maaf?”
“Hm,
mianhae, Sonbae,” ujarnya dingin. Woohyun Sonbae tersenyum tipis.
“Baiklah.
Kalian boleh bergabung dengan teman-teman kalian!”
***
“Hoya-ah,
Dongwoo-ah, bagaimana persiapan kalian untuk olimpiade olahraga sebentar lagi?”
Aku,
Dongwoo, dan Woohyun Sonbae sedang makan malam di kantin klub. Kami bicara
banyak sebelum akhirnya Woohyun Sonbae membawa kami ke pembicaraan serius itu.
“Baik. Hojae
Hyung tidak terlalu mempermasalahkannya,” jawabku yang dibalas anggukan puas
Woohyun Sonbae—dia sedang tersambung ke telepon seseorang.
“Aku…
Entahlah…” Woohyun Sonbae yang sedang mendengarkan lawan bicaranya terbelalak
kaget.
“Wae,
Dongwoo-ah?” tanyaku cepat.
“Aku sedang
ada intern problem. Aku tidak yakin dapat ikut bertanding…” jelas Dongwoo
dengan wajah tertunduk.
“Ayolah,
Dongwoo-ah… Kau sahabat dan rival terbaikku, tapi tanpamu pasti pertandingan
akan sepi…” ujarku sambil memandang wajahnya. Pipinya tampak tirus. “Aku harap
masalahmu dapat diselesaikan, Dongwoo-ah!”
“Trims atas
simpatimu Hoya-ah!” spontan namja di depanku ini memelukku.
“Dongwoo…”
aku tertegun sesaat, tapi aku langsung membalas pelukannya.
“Ekhm!”
dehaman Woohyun Sonbae menyadarkan kami. Ia tersenyum padaku, lalu pada
Dongwoo. “Aku sudah dengar, Dongwoo-ah. Sebisa mungkin kami akan membantumu.
Betul kan, Hoya-ah?” Dengan mantap kujawab dengan anggukan kepala.
Dongwoo
tersenyum—belum pernah aku melihatnya senyum sebegini cerah. “Trims Sonbae,
Hoya-ah! Kalian memang sahabat yang baik!”
“Maaf,
permisi…” suara seorang namja membuyarkan pandanganku ke wajah Dongwoo.
“Woohyunie…” panggil namja sipit itu. Woohyun Sonbae mengangkat wajahnya dari
novel yang sedang dibaca.
“Ah, Gyuyie~jja
kita pulang Chagi…” cups! Woohyun Sonbae mengecup singkat bibir namja itu.
“Sampai ketemu lain waktu, Bocah-bocah!” Woohyun Sonbae mengaitkan armlock pada
namja yang dipanggilnya ‘Gyuyie’ itu.
Aaaaah~itu
pasti namjachingu Woohyun Sonbae!, batinku. Makin lama memandang mereka, aku
jadi iri… “Kapan ya aku punya namjachingu yang baik seperti Gyuyie Hyungnim?”
celetukku tiba-tiba.
“Suatu hari
nanti, lah!” jawab Dongwoo asal. “Berhenti memikirkan namjachingu, deh.
Sebaiknya kau antar aku pulang saja!”
“Heuh~ya
sudah, ppali kemasi barang-barangmu!”
Dongwoo
memasukan perlengkapan latihannya ke tas. Saat ia membuka tasnya, aku menangkap
kotak seperti obat. Aku hampir saja membuka mulut soal itu, tapi Dongwoo
membuyarkan niatku.”Jja, Hoya-ah!” ajak Dongwoo. Aku diam—hanya mengangguk dan
membawanya mengikutiku ke parkiran untuk mengambil mobil.
Ah, mungkin
aku hanya salah lihat!, batinku menolak pikiran negatif. “Di mana rumahmu?”
tanyaku saat membukakan pintu untuk namja bergigi besar itu.
“Di
perumahan Hanmi blok I-2 nomor 13. Apakah menurutmu jauh?” jawabannya membuatku
kaget.
“Hanmi
katamu?” tanyaku meyakinkan. Namja bermarga Jang itu mengangguk. “Rumahku juga
di sana! Rumah nomor 13 ya? Kalau dari gapura belakang, sebelum taman, kan?”
“Geure!
Rumahmu yang mana?” ia balas bertanya dengan antusias.
“Rumahku
nomor 11. Setelah taman,” jawabku sembari tersenyum sumringah.
“Kalau
begitu, kita bisa sering bertemu dong! Kebetulan cosmic berpihak pada kita,
akhirnya aku bisa dekat dengan bocah menyebalkan ini!”
Gubrak. “Apa
katamu?” emosiku tersulut. Aku batal marah melihat rumah Dongwoo sudah dekat.
“Mian. Lupakan yang tadi. Nah, kau sampai!” aku turun dan membukakan pintu
untuk Dongwoo.
“Trims
Hoya-ah!” serunya lalu menghambur ke rumahnya. “Mau mampir dulu?”
“Ah~aniya,
rumahku kan sudah dekat!” tolakku.
“Euhehehe…
Ehm, apa nanti malam kau bisa menemuiku di taman?” ia bertanya sambil menatapku
lekat.
“Hm?” aku
mengangkat alis, bertanya seakan-akan aku salah dengar.
“Aku ingin
kau menemuiku di taman pukul… emmm, 10?” ulangnya sabar. Tau-tau namja berambut
pirang-hitam(?) itu meraih tanganku. “Jebal Hoya-ah… Akankah kau mengusahakan
untuk datang?”
“Tidak.” Aku
menarik tanganku dari genggamannya. Ia kaget bercampur kecewa. “Tapi aku pasti
datang. Untuk Jang Dongwoo, sahabat dan rival terbaikku!” aku mengilaskan
senyum jahil dan masuk ke mobil.
“Eh~eodiga?
Urusan kita belum selesai, yah!” Dongwoo berusaha menarik tanganku, tapi aku
keburu menutup pintu mobil dan tertawa sepuas jidat(?) di dalam mobil.
“Mian,
Dongwoo-ah. Tapi aku serius aku akan datang!” ucapku dari jendela mobil.
“Yah~baiklah.
Sampai jumpa nanti, Bocah Menyebalkan!” ia melambaikan tangannya dan membiarkan
mobilku melaju.
***
Aku
tersenyum-senyum saat keluar dari kamar mandi. “Hoya Hyung, Hoya Hyung~kau ini
aneh benar!” adikku Hojun mendecak sebal melihatku tersenyum-senyum memandang
ponselku. “Apa itu Hyung?” tanyanya penasaran sambil mengintip layar ponselku.
-Meet “The
One” @ garden 10pm-
“Apa sih,
kau masih kecil!” sergahku saat menyadari bocah yang 5 tahun lebih muda dariku
itu membaca reminderku.
“Siapa yang
Hyung maksud ‘The One’ itu?” tanya bocah itu polos. “Pacar baru Hoya Hyung?”
“Kau tau apa
soal pacaran hah?” isssh bocah ini merepotkan sekali!, batinku kesal. “Dia
hanya seniorku, kok!”
“Yah,
terserah Hoya Hyung! Cepat pergi, ini sudah sepuluh kurang 5 menit, Hyung!”
usirnya sambil mendorongku ke kamar—menyuruhku segera berganti pakaian.
“Kau
mengusir ya? Baik! Kalau begitu tidak ada komik Naruto minggu ini!” aku
tersenyum jahil dan masuk ke kamar untuk mengganti pakaianku dengan setelan
kasual.
“Hyung
jahaaaatt!” pekiknya sambil menggedor-gedor pintuku. Aku membukanya setelah
selesai berdandan(?). “Nappeun Hoya Hyung!” teriaknya saat aku berjalan ke
pintu depan.
“Terserah,”
balasku singkat sambil mengambil jaket baseball kesayanganku. Aku berjalan
dengan santai ke taman sebelah rumah.
***
“Aaah kau
kenapa telat? Menyebalkan!”
“Yak kenapa
kau jadi hobi sekali bilang menyebalkan padaku!” omelku saat namja yang
sebenarnya menyebalkan sendiri itu.
Yups. Aku
sedang di taman di antara rumahku dan si menyebalkan itu. Kalian tentu tau kan?
Jang Dongwoo!
“Kau sadar
tidak sih, wajahmu menyebalkan!” ujarnya sambil mencubit pipiku enteng.
“Hah? Kau
sendiri menyebalkan!” balasku. Aku balas mencubit pipinya.
“Apa sih?
Bukan itu maksudku!” aku memandangnya heran dengan alis terangkat sebelah.
“Wajahmu itu seperti aegi. Dari dulu aku ingin sekali memanggilmu HoAegi-ya!”
Haaaah~aku
menghela nafas, mendinginkan kepalaku yang meledak karena pujiannya. “Trims
Dino-ah!” ucapku sambil tersenyum. Ah pasti pipiku memerah.
“Dino?”
“Gigimu
sebesar dinosaurus. Panggilan itu cocok untukmu! Hehehe…” aku nyengir, dan
namja yang kupanggil DinoWoo itu mencubit pipiku lagi.
“Haaaah~~aku
ingin memberimu kejutan!” ujarnya sambil merogoh tasnya. “Tapi kau tutup mata
dulu, ne!”
Dengan patuh
aku menutup mataku. 2 menit lamanya aku menutup mata. “Sudah?” tanyaku tak
sabar.
“Nnnnnnah!
Silakan buka matamu~” aku membuka mata, mengerjapkan mata lebar ini—antara
lelah dan tidak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.
“Cup…cake
ungu?” tanyaku sedikit terbata. Aku memandang cupcake itu dengan mata
terbelalak. “Kau tau dari mana aku suka ungu?”
“Profil
ID-mu bertaburan ungu, Hoya-ah!” jawabnya sambil menjitakku pelan.
Gubrak~dia
ini benar-benar…, batinku mengomel. Belum selesai dengan pikiranku, dia
menyodorkan cupcake itu ke depan wajahku. “Makanlah, ini bukan racun, kok!”
Aku diam.
Dongwoo menghela nafas. Akhirnya ia mengambil sendok dan menyuapkan cupcake itu
ke mulutku. “Eumm… Neomu massitta~” aku meraih tangan Dongwoo dan menyuapkan
lebih banyak. Tiba-tiba gigiku terantuk sesuatu. “I…ige mwo?”
Kulihat di
dalam cupcake ada sebuah balok (berwarna ungu juga) yang belum jelas nampak.
“Aaaah~habiskan saja cupcakenya~!” ujarnya seakan tak mau tau soal balok itu.
Menggunakan sendok aku menggulingkan keluar balok itu dan mencucinya.
“DinoWoo-ah?”
tanyaku saat melihat tulisan di balok itu.
“Apa?”
“Kenapa ada
tulisan ini?”
“Hah?” ia
malah balik bertanya dengan wajah bodoh. “Oh~will you be with me? Can we live
together from now on?”
Aku segera
memahami maksudnya. Kuanggukan kepalaku dengan mantap. “Yes I will and I’m sure
we can!”
“May I kiss
you?” caranya yang berbeda, dan perkataannya kali ini membuatku luluh. Aku
mengangguk dan membiarkan ia menciumku. Aku membalas ciumannya cepat.
“Trims
HoAegi, saranghae, eonjekkaji, yeongwonhi…” ujarnya saat ia melepas tautan
bibir kami.
“Nado
saranghae DinoWoo…” aku mengecup bibirnya singkat dan memeluknya erat.
“Memilikimu adalah hadiah terindah sepanjang hidup ini…”
“Kebahagiaan
bersamamu adalah obat paling ampuh bagiku, HoAegi…”
***
Aku mengucek
mataku, tak percaya dengan pemandangan di depanku. Seorang namja berdiri dengan
gagahnya dalam balutan tuxedo abu-abu. “D…DinoWoo?”
“Ne, HoAegi,
siapa lagi?” jawabnya penuh percaya diri.
“Heuk-heuk-heuk,
benar juga sih.” Aku mengakuinya diiringi tawa paksaan. “Tapi kenapa pakaianmu
seperti ini?”
Ia tampak
sedikit terkejut dengan pertanyaanku, tapi sedetik kemudian wajahnya kembali
netral. “Oh, ini… Aku mau pergi.”
“Tidak ikut olimpiade?”
tanyaku heran. Ia menggeleng. “Ah~kau akan kehilangan kesempatan, DinoWoo
Sayang!”
“Aku tau…
Tapi doakan saja aku sempat melihatmu menang…”
“Aku tidak
akan mengangkat piala kalau kau tidak ada bersamaku, DinoWoo…” aku memeluknya
erat dan ia melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Aku akan
pergi, tapi HoAegi, percayalah. Cintaku selalu ada bersamamu…” tanganku mulai
bergerak naik, merengkuh tengkuknya dan mencium bibirnya lama. “Annyeong
HoAegi, sampai jumpa di lain waktu…” gumamnya di sela ciuman kami. Perlahan,
tubuhnya menghilang. Yang aku rasakan hanya kehangatan angin musim semi yang
menerpa wajahku.
“DinoWoo…
Jang Dongwoo… Neon eodiga…?!” pekikku dengan suara serak. Aku menghela nafas,
putus asa. “Arrasseo, Dongwoo-ah, semoga kau bahagia di sana, saranghae,
eonjekkaji, yeongwonhi…” suaraku makin hilang, berganti isak tangis kehilangan.
“Uljima, Lee
Hoya… Aku masih di dekatmu, jadi jangan tangisi aku, arra?” suara itu… Rasanya
sekarang suara itu memekakan telinga.
“DinoWoo~!”
***
“Yah,
HoAegi, kenapa kau teriak begitu? Aku di sini Sayang~apa kau tak mau bangun dan
memeluk namjachingu-mu?” seseorang—yang pasti namja, dari suaranya—menepuk
pipiku.
“Isssh…
Diamlah~aku masih ngantuk!” aku menarik selimut dan membalikan badanku. Tapi
dengan cepat orang itu memutarbalik tubuhku yang menghadap tembok.
“Eo? Kalau
begitu, ini morning kiss terakhir, dan kita putus!” makin lama aku mengenal
suaranya. Aku hampir menyebut namanya keras-keras, tapi aku masih kalah cepat
dengan gerakan namja itu. Ia mencium bibirku lembut, mengesankan perasaan cinta
yang tulus.
“Ah-andwe,
DinoWoo… Aku tak ingin kehilanganmu… Tteonajima,” gumamku di sela kesibukan
kami—saling melumat bibir.
Berapa menit
berselang, ia memutus tautan bibir kami. “Apa yang kau katakan, HoAegi? Aku tidak
akan meninggalkanmu sendirian~dan kau bisa pegang janjiku!” ia menarik tanganku
agar aku bangun kemudian merengkuh pinggangku dan memelukku erat. Aku juga
mengalungkan tanganku di tengkuknya, tersenyum saat ia membelai kepalaku dengan
lembut—penuh cinta.
“Nan
danggunji (yakin)… Mimpi aneh tadi tidak akan terjadi pada Dino tersayangku~”
“Hah? Jadi
karena mimpi, kau takut kehilangan aku?”
“Ne…”
“Itu kan
cuma mimpi, HoAegi…” ujarnya kalem sambil mengelus kepalaku lagi. “But,
yeah~itu terserah padamu untuk percaya yang mana—aku atau mimpi itu!”
Aku diam.
Yang mana? Aku lebih percaya pada orang yang kucintai. “Dino-reul mideo.
Saranghae, DinoWoo…” bisikku di telinga namja itu.
“Emm,
HoAegi… Kau ingat tidak, ini hari apa?” ia sudah melepaskan pelukannya. Aku mengikutinya
dan menggeleng sambil berpikir.
“Ehm… Ya
Tuhan, DinoWoo! Kita akan kembali bersaing~kau ikut olimpiade hari ini kan?”
tanyaku sesaat setelah aku ingat.
“Aku ikut.
Aaaah~di hari sebahagia ini kita harus bersaing demi tropi juara tingkat
Gyeonggi-do, ya?”
“Itu kan
menarik!” balasku. Aku menciumnya singkat, maksudnya sebagai penyemangat. Tapi
ia malah melumat bibirku cukup lama dan membuatku hanyut dalam arus elektron(?)
cinta pada tubuh kami.
“Saranghae,
eonjekkaji, yeongwonhi…” kata itu seakan sudah menjadi sumpelan setiap saat
kami ingin.
“Dan, happy
first month, HoAegi…” tambah Dongwoo lalu mulai menguasai mulutku lagi.
“Happy first
month DinoWoo… Aku berharap kita langgeng, sampai maut memisahkan~”
Aku kembali
diam dan membiarkan angin musim semi membawa harapan kami ke suatu tempat.
“Sebaiknya kau bersiaplah, HoAegi, lalu kita sarapan untuk kemudian berangkat
ke Incheon Stadium…” nasehatnya sambil mendorongku lembut ke kamar mandi.
“Arra,
DinoWoo… Kau tidak keberatan kan, kalau kau yang mengantarku?” dari dalam aku
bertanya.
“Aniya~aku
juga memang berencana mengantarmu~sudah, cepat mandi!” ia semakin mengomel saat
suaraku masih terdengar.
***
“Jang
Dongwoo, fighting!!!”
Aku
mendengar sorakan untuk namjachingu-ku itu sangat ramai. Agaknya tribun akan
lebih ramai lagi saat ia menang, karena kami sudah overlap dan garis finish
sudah 10 meter di depan namja itu.
Bluk.
Dongwoo…
Jatuh?
Aku
mempercepat lariku dan memastikan dia tak apa-apa.
“DinoWoo…
Come on, Dude. Kau hampir menang!” aku mengulurkan tanganku, menyemangatinya.
“T-tapi,
HoAegi… Kaulah yang pantas… Uh—untuk tropi itu… Dan bukan orang… Semacam aku
ini…” ucapnya terbata. Aku tak merasakan secercah harapan pun hinggap di
dalamnya.
“DinoWoo…”
“HoAegi,
kita sudah overlap. Kau… Harus terus berlari… Buktikan… Bahwa kau mencintaiku…
Kau tak perlu mengangkat tropi itu… Tapi menangkanlah… Demi aku… Happy first
month HoAegi…”
“DinoWoo…!”
“Aku tidak
akan pergi… Menangkanlah HoAegi…”
Aku mencium
bibirnya singkat. “Baiklah. Ini semua untuk DinoWoo.” Aku mengepalkan tangan,
menguatkan tekad. “Semoga kau lekas baikan!” aku berdiri tepat saat paramedis
datang dengan tandu. Sekilas aku melihatnya tersenyum, menyemangatiku,
menguatkan aku untuk meneruskan perjuangannya. Aku berlari, dan terus berlari,
memotong pita di garis finish dengan perasaan bangga berlipat-lipat.
***
“Hojae
Hyung, Hojun Kecilku, Nam Woohyun Sonbae, dan… DinoWoo-ku yang terkasih… Ini
untuk kalian!” ucapku saat diminta menyampaikan sambutan.
Aku
mengangkat tropi itu saat melihat orang-orang tercintaku tersenyum. Termasuk
Dongwoo yang memakai kursi roda, didorong oleh seorang noona. “Aku bangga pada
kalian, aku cinta kalian, terlebih Dongwoo-ah yang merupakan kekasih terbaik,
hadiah terindah, dan rival yang paling kusayangi. Tanpa kalian, aku tidak akan
berdiri di sini…” pandanganku mengabur, tapi aku mengerjapkan mataku cepat.
“Thank God, thanks every factors…”
***
Noona yang
bersama Dongwoo tadi—ternyata itu kakak Dongwoo—memberi kunci mobil Dongwoo
padaku.
“Bawalah,
Hoya-ah… Dongwoo yang memintanya…”
“Eh,
Noona…?” aku menerima kunci itu dengan heran. “Ar…arraseo…”
“Trims sudah
menjaga Dongwoo selama ini… Aku tau, kalian baru resmi berpacaran sebulan lalu.
Tapi adikku sering bercerita bagaimana ia memendam perasaan padamu, sampai malam
itu dia memberimu kejutan. Dia bilang, kau adalah cinta pertama dan
terakhirnya, dan dia ingin menciptakan memoar bahagia dengan orang yang
dicintainya. Sebenarnya… Dia adalah pengidap kanker jaringan lunak, dan
sekarang sudah stadium akhir… Aku takut adikku tak punya harapan hidup lagi…”
dengan tabah, noona Dongwoo menjelaskan semuanya padaku. Ia tak
menangis—bayangkan, seorang noona yang mengurus adiknya saja tidak menangis.
Kata Dongwoo benar, aku tak perlu menangisinya—tapi aku tak mampu.
“Noona, aku
ingin bertemu dengan Dongwoo…” pintaku. Gestur noona itu memintaku untuk
mengikutinya. Aku berjalan di belakang noona-nya Dongwoo sambil membawa tropi
tadi.
***
“Lihat kan,
aku sudah mengangkat tropi. Nan neoreul jeongmal saranghae, DinoWoo…”
Aku memeluknya
erat. Tubuh yang (ternyata) kurus itu diam, mematung.
“Dongwoo-ah,
noona-mu sudah bercerita banyak tentang kau. Kau tidak mungkin menciptakan
memoar bahagia saat kau buat orang lain bahagia sementara kau menyiksa dirimu
sendiri. Tapi, semua sudah terjadi. Aku harap kau… Mmmh…” belum habis kalimatku
ke ujung, ia mencium dan melumat bibirku cepat. Aku balas melumat lembut
bibirnya—yang sekarang jelas tampak pucat itu. Kami menikmati ciuman ini sampai
mata kami ikut terpejam—tapi mataku basah.
“Cukuplah kau
berharap aku bahagia setelah ini…” gumamnya sambil masih menciumku. Aku diam,
tak mau menjawab. Butiran air mataku yang menjawabnya. Aku terus memperdalam
ciumanku sampai aku merasa bibir tebal itu dingin. Tanganku—yang bersentuhan
dengan tangannya—juga merasakan hal serupa.
“DinoWoo…”
air mataku mulai meleleh, melunturkan wajah bangga dan penuh cinta pada Jang
Dongwoo.
Aku menekan
bell, memanggil uisa untuk memeriksanya. Hasilnya? Kekasih sekaligus rivalku
itu sudah berangkat ke alam baru.
“Aku pergi dulu,
Lee Hoya… annyeong, jaga dirimu dan jangan tangisi aku, arra?” suara itu—entah
dari mana datangnya, tapi yang pasti, sekarang terdengar memekakan telinga.
“Aku tidak akan pergi jauh, kok! Cintaku masih bersamamu… aku ingin kau
bahagia, jadi, uljima… dan carilah kekasih lain yang bisa membuatmu selalu
semangat dan tersenyum setiap saat. Kau bersedia, kan?”
Suara itu
terus mengucapkan hal-hal baik untukku. Tapi rasanya suara itu merusak
saraf-sarafku, membuat otakku terus memerintahku untuk menangis.
“Baiklah
DinoWoo Sayangku… semoga kau bahagia di sana, dan terima kasih untuk sebulan
yang indah ini… aku selalu mencintaimu!” bisikku di telinganya. Aku tau, ia tak
mungkin dengar—apalagi bangun kembali. Tapi aku tau, angin musim semi mengantar
harapanku ke tempat ia berada sekarang.
***FIN***
Haaaaaah*_*
gimana menurut kalian? Acakadul ya? Duh, miaaaan~nggak bisa ngasih poster
lagi~T.T (itu cuma pic yang nempel dengan sendirinya[?] di situ *apa dah* yang pasti itu cuma gambar buat ngeramein aja =_=) tau deh, persetan soal poster~~yang penting makasih buat yang udah
baca, kritik dan saran bisa dikasih di kolom komen untuk memperbaiki ff Author
selanjutnya!! Bubbay~*pamit//ngilang*

No comments:
Post a Comment