Sunday, 7 December 2014

My Best Rival


My Best Rival

Cast: DongYa as main cast, Woohyun as cameo, yang lain cari aja sendiri~
Genre: bromance (yaoi), sad, sedikit dibumbui friendship(?)
Length: 1s (tembus 2500 words)
Rate: PG 14
A/N: yeeeee jadiiii~nih ff Author bikin waktu mau latian ujian loh. Ceritanya Author lagi smsan sama rival Author di sekolah, eh, dapet ide bikin ff! Tapi author-nya normal kok~(baca genrenya =_=) engggg… nih ff sebenernya udah lama jadi, pas ultah Dongu tercinta(?) mau dipost tapi terkendala fasilitas wifi dan waktu Author yang kepepet latian ujian, kerja-kerja berbagai tugas dan UAS~so, maaf kalo kelamaan. Akhir kata, happy reading n pls respect!
***
Suatu hubungan—yang tulus—itu tidak memandang kedudukan.
Dan memang seperti itulah kami!
Aku mencintai sainganku. Sainganku itu pun mencintaiku.
Sampai akhirnya…
***
ddww1122: “Annyeong, Lee Hoya-ah?”
Chat dari seseorang ber-ID ddww1122 langsung muncul ketika aku signed in.
hoya1991: “Geure~nuguya?” balasku cepat. Aku heran… aku bahkan tidak pernah menyebarkan ID-ku.
ddww1122: “Jang Dongwoo”
Oh, Dongwoo-ah. Aku belum mengenalnya, meskipun yah, aku tau yang mana orangnya.
hoya1991: “Kau yang mengajak bertukar ID waktu itu?”
ddww1122: “Yup. Saengil chukkahaeyo, Hoya-ah!”
hoya1991: “Trims~tapi kau tau dari mana?”
ddww1122: “Jangan berlagak bodoh, deh.”
Ia mengirim sebuah gambar screen capture. “Today is hoya1991’s birthday [say something to hoya1991?]”
hoya1991: “Ya ampun, aku lupa. OK, trims deh, kalau begitu!”
ddww1122: “Np. See you next time, Hoya-ah!”
<ddww1122 has signed out>
Aku memandang ponselku kesal. “Menyebalkan~” gerutuku sambil meraup popcorn di toples.
“He, Hoya~kapan kau diet? Kerjaanmu cuma ngemil terus…!” omel kakakku Lee Hojae. “Kau ini atlet dan…”
“Aku tau, aku ini atlet dan tubuhku perlu dijaga. Aku tidak boleh makan sembarangan dan aku harus menyempatkan diri untuk berlatih, apalagi sebentar lagi aku akan ada olimpiade olahraga…”
“Kau membantah ya?”
“Tidak~aku hanya mengucapkan padaku sendiri apa yang Hyung serrrrring ucapkan padaku.”
“Jadi kau mengingatnya?”
“Yah. Aku ingat, tapi jangan harap aku menjalankannya seminggu ini, Hyung~”
“Terserah. Kau sulit sekali, sih…” akhirnya Hojae Hyung menyerah dan masuk ke kamarnya. Aku di meja makan masih mengurusi chat yang harus kubalas sambil memakan popcorn.
Sebuah pesan masuk saat aku memasukan popcorn ke-59 ke dalam mulutku.
From: <unknown number>
“Yah, maaf, dataku habis. Jadi aku sms kau saja!”
Received 20140328 4:59pm

Aku membalasnya dengan cepat.
To: <unknown number>
“Siapa ini?”
Sent 20140328 5:00pm
Aaaaah si unknown ini tidak membalas~menyebalkan! Akhirnya, 5 menit kemudian aku mengirim pesan lagi ke unknown itu.
To: <unknown number>
“Yak kenapa kau tidak balas pesanku?”
Failed 20140328 5:05pm
Kenapa failed begini? Oh~pulsaku tidak cukup. Aaaaah this is hell! Akhirnya petang itu kuhabiskan dengan belajar dan pergi ke klub lari.
***
“Hoya-ah, mian, aku baru baca pesanmu tadi ini…” Dongwoo langsung menghampiriku saat aku masuk ke gym milik klub.
“Jadi yang tadi itu kau? Dapat nomorku dari mana?” tanyaku heran. Soal ini sih, aku juga tidak pernah menyebarkannya!
“Kau menuliskannya di profil IDmu,” jawabnya sambil memasang wajah datar.
Gubrak. “Kau stalker-ku? Aaaah kau ini menyebalkan!”
“Hoya-ah, Dongwoo-ah!” panggil Woohyun Sonbae—pelatih kami—sebelum Dongwoo menjawab pertanyaanku. “Kalian push up 15 kali. Jigeum!” perintahnya, menghukum aku dan Dongwoo.
Dengan langkah gontai aku berjalan ke matras(?) push up. Sekilas aku menangkap Dongwoo yang memandangku kesal dari samping. “Ini semua salahmu!” sergahnya tiba-tiba.
“Apa?” balasku setengah bodoh.
“Kau yang berteriak menyebalkan!”
“Itu karna kau memang menyebalkan!”
“Apa katamu!?”
“Diam~~!!” teriak Pelatih Nam yang lebih suka dipanggil ‘sonbae’ itu. “Karna tingkah kalian yang kekanakan, kalian terpaksa harus melakukannya DUA kali lipat.”
“Jinjjaro?!” pekikku dan Dongwoo bersamaan. Kami saling melempar deathglare satu sama lain. Tanpa suara lagi, kami mengambil posisi siap di atas matras tipis.
“Hana, dul, set, sijak!” Woohyun Sonbae memberi aba-aba hitungan. 1, 2, 3, 4, 5, 10 … 30! “Keuman!”
Aku berdiri dan merapikan pakaianku. “Mianhae, Sonbae…” ucapku lirih sambil tertunduk.
“Gwenchanha, Hoya-ah~lalu bagaimana dengan Dongwoo-ah?” balasnya kalem sambil memandang Dongwoo. Yang dipandang hanya diam, melihat hal lain di sekitarnya. “Dongwoo-ah, tidakkah kau akan minta maaf?”
“Hm, mianhae, Sonbae,” ujarnya dingin. Woohyun Sonbae tersenyum tipis.
“Baiklah. Kalian boleh bergabung dengan teman-teman kalian!”
***
“Hoya-ah, Dongwoo-ah, bagaimana persiapan kalian untuk olimpiade olahraga sebentar lagi?”
Aku, Dongwoo, dan Woohyun Sonbae sedang makan malam di kantin klub. Kami bicara banyak sebelum akhirnya Woohyun Sonbae membawa kami ke pembicaraan serius itu.
“Baik. Hojae Hyung tidak terlalu mempermasalahkannya,” jawabku yang dibalas anggukan puas Woohyun Sonbae—dia sedang tersambung ke telepon seseorang.
“Aku… Entahlah…” Woohyun Sonbae yang sedang mendengarkan lawan bicaranya terbelalak kaget.
“Wae, Dongwoo-ah?” tanyaku cepat.
“Aku sedang ada intern problem. Aku tidak yakin dapat ikut bertanding…” jelas Dongwoo dengan wajah tertunduk.
“Ayolah, Dongwoo-ah… Kau sahabat dan rival terbaikku, tapi tanpamu pasti pertandingan akan sepi…” ujarku sambil memandang wajahnya. Pipinya tampak tirus. “Aku harap masalahmu dapat diselesaikan, Dongwoo-ah!”
“Trims atas simpatimu Hoya-ah!” spontan namja di depanku ini memelukku.
“Dongwoo…” aku tertegun sesaat, tapi aku langsung membalas pelukannya.
“Ekhm!” dehaman Woohyun Sonbae menyadarkan kami. Ia tersenyum padaku, lalu pada Dongwoo. “Aku sudah dengar, Dongwoo-ah. Sebisa mungkin kami akan membantumu. Betul kan, Hoya-ah?” Dengan mantap kujawab dengan anggukan kepala.
Dongwoo tersenyum—belum pernah aku melihatnya senyum sebegini cerah. “Trims Sonbae, Hoya-ah! Kalian memang sahabat yang baik!”
“Maaf, permisi…” suara seorang namja membuyarkan pandanganku ke wajah Dongwoo. “Woohyunie…” panggil namja sipit itu. Woohyun Sonbae mengangkat wajahnya dari novel yang sedang dibaca.
“Ah, Gyuyie~jja kita pulang Chagi…” cups! Woohyun Sonbae mengecup singkat bibir namja itu. “Sampai ketemu lain waktu, Bocah-bocah!” Woohyun Sonbae mengaitkan armlock pada namja yang dipanggilnya ‘Gyuyie’ itu.
Aaaaah~itu pasti namjachingu Woohyun Sonbae!, batinku. Makin lama memandang mereka, aku jadi iri… “Kapan ya aku punya namjachingu yang baik seperti Gyuyie Hyungnim?” celetukku tiba-tiba.
“Suatu hari nanti, lah!” jawab Dongwoo asal. “Berhenti memikirkan namjachingu, deh. Sebaiknya kau antar aku pulang saja!”
“Heuh~ya sudah, ppali kemasi barang-barangmu!”
Dongwoo memasukan perlengkapan latihannya ke tas. Saat ia membuka tasnya, aku menangkap kotak seperti obat. Aku hampir saja membuka mulut soal itu, tapi Dongwoo membuyarkan niatku.”Jja, Hoya-ah!” ajak Dongwoo. Aku diam—hanya mengangguk dan membawanya mengikutiku ke parkiran untuk mengambil mobil.
Ah, mungkin aku hanya salah lihat!, batinku menolak pikiran negatif. “Di mana rumahmu?” tanyaku saat membukakan pintu untuk namja bergigi besar itu.
“Di perumahan Hanmi blok I-2 nomor 13. Apakah menurutmu jauh?” jawabannya membuatku kaget.
“Hanmi katamu?” tanyaku meyakinkan. Namja bermarga Jang itu mengangguk. “Rumahku juga di sana! Rumah nomor 13 ya? Kalau dari gapura belakang, sebelum taman, kan?”
“Geure! Rumahmu yang mana?” ia balas bertanya dengan antusias.
“Rumahku nomor 11. Setelah taman,” jawabku sembari tersenyum sumringah.
“Kalau begitu, kita bisa sering bertemu dong! Kebetulan cosmic berpihak pada kita, akhirnya aku bisa dekat dengan bocah menyebalkan ini!”
Gubrak. “Apa katamu?” emosiku tersulut. Aku batal marah melihat rumah Dongwoo sudah dekat. “Mian. Lupakan yang tadi. Nah, kau sampai!” aku turun dan membukakan pintu untuk Dongwoo.
“Trims Hoya-ah!” serunya lalu menghambur ke rumahnya. “Mau mampir dulu?”
“Ah~aniya, rumahku kan sudah dekat!” tolakku.
“Euhehehe… Ehm, apa nanti malam kau bisa menemuiku di taman?” ia bertanya sambil menatapku lekat.
“Hm?” aku mengangkat alis, bertanya seakan-akan aku salah dengar.
“Aku ingin kau menemuiku di taman pukul… emmm, 10?” ulangnya sabar. Tau-tau namja berambut pirang-hitam(?) itu meraih tanganku. “Jebal Hoya-ah… Akankah kau mengusahakan untuk datang?”
“Tidak.” Aku menarik tanganku dari genggamannya. Ia kaget bercampur kecewa. “Tapi aku pasti datang. Untuk Jang Dongwoo, sahabat dan rival terbaikku!” aku mengilaskan senyum jahil dan masuk ke mobil.
“Eh~eodiga? Urusan kita belum selesai, yah!” Dongwoo berusaha menarik tanganku, tapi aku keburu menutup pintu mobil dan tertawa sepuas jidat(?) di dalam mobil.
“Mian, Dongwoo-ah. Tapi aku serius aku akan datang!” ucapku dari jendela mobil.
“Yah~baiklah. Sampai jumpa nanti, Bocah Menyebalkan!” ia melambaikan tangannya dan membiarkan mobilku melaju.
***
Aku tersenyum-senyum saat keluar dari kamar mandi. “Hoya Hyung, Hoya Hyung~kau ini aneh benar!” adikku Hojun mendecak sebal melihatku tersenyum-senyum memandang ponselku. “Apa itu Hyung?” tanyanya penasaran sambil mengintip layar ponselku.
-Meet “The One” @ garden 10pm-
“Apa sih, kau masih kecil!” sergahku saat menyadari bocah yang 5 tahun lebih muda dariku itu membaca reminderku.
“Siapa yang Hyung maksud ‘The One’ itu?” tanya bocah itu polos. “Pacar baru Hoya Hyung?”
“Kau tau apa soal pacaran hah?” isssh bocah ini merepotkan sekali!, batinku kesal. “Dia hanya seniorku, kok!”
“Yah, terserah Hoya Hyung! Cepat pergi, ini sudah sepuluh kurang 5 menit, Hyung!” usirnya sambil mendorongku ke kamar—menyuruhku segera berganti pakaian.
“Kau mengusir ya? Baik! Kalau begitu tidak ada komik Naruto minggu ini!” aku tersenyum jahil dan masuk ke kamar untuk mengganti pakaianku dengan setelan kasual.
“Hyung jahaaaatt!” pekiknya sambil menggedor-gedor pintuku. Aku membukanya setelah selesai berdandan(?). “Nappeun Hoya Hyung!” teriaknya saat aku berjalan ke pintu depan.
“Terserah,” balasku singkat sambil mengambil jaket baseball kesayanganku. Aku berjalan dengan santai ke taman sebelah rumah.
***
“Aaah kau kenapa telat? Menyebalkan!”
“Yak kenapa kau jadi hobi sekali bilang menyebalkan padaku!” omelku saat namja yang sebenarnya menyebalkan sendiri itu.
Yups. Aku sedang di taman di antara rumahku dan si menyebalkan itu. Kalian tentu tau kan? Jang Dongwoo!
“Kau sadar tidak sih, wajahmu menyebalkan!” ujarnya sambil mencubit pipiku enteng.
“Hah? Kau sendiri menyebalkan!” balasku. Aku balas mencubit pipinya.
“Apa sih? Bukan itu maksudku!” aku memandangnya heran dengan alis terangkat sebelah. “Wajahmu itu seperti aegi. Dari dulu aku ingin sekali memanggilmu HoAegi-ya!”
Haaaah~aku menghela nafas, mendinginkan kepalaku yang meledak karena pujiannya. “Trims Dino-ah!” ucapku sambil tersenyum. Ah pasti pipiku memerah.
“Dino?”
“Gigimu sebesar dinosaurus. Panggilan itu cocok untukmu! Hehehe…” aku nyengir, dan namja yang kupanggil DinoWoo itu mencubit pipiku lagi.
“Haaaah~~aku ingin memberimu kejutan!” ujarnya sambil merogoh tasnya. “Tapi kau tutup mata dulu, ne!”
Dengan patuh aku menutup mataku. 2 menit lamanya aku menutup mata. “Sudah?” tanyaku tak sabar.
“Nnnnnnah! Silakan buka matamu~” aku membuka mata, mengerjapkan mata lebar ini—antara lelah dan tidak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.
“Cup…cake ungu?” tanyaku sedikit terbata. Aku memandang cupcake itu dengan mata terbelalak. “Kau tau dari mana aku suka ungu?”
“Profil ID-mu bertaburan ungu, Hoya-ah!” jawabnya sambil menjitakku pelan.
Gubrak~dia ini benar-benar…, batinku mengomel. Belum selesai dengan pikiranku, dia menyodorkan cupcake itu ke depan wajahku. “Makanlah, ini bukan racun, kok!”
Aku diam. Dongwoo menghela nafas. Akhirnya ia mengambil sendok dan menyuapkan cupcake itu ke mulutku. “Eumm… Neomu massitta~” aku meraih tangan Dongwoo dan menyuapkan lebih banyak. Tiba-tiba gigiku terantuk sesuatu. “I…ige mwo?”
Kulihat di dalam cupcake ada sebuah balok (berwarna ungu juga) yang belum jelas nampak. “Aaaah~habiskan saja cupcakenya~!” ujarnya seakan tak mau tau soal balok itu. Menggunakan sendok aku menggulingkan keluar balok itu dan mencucinya.
“DinoWoo-ah?” tanyaku saat melihat tulisan di balok itu.
“Apa?”
“Kenapa ada tulisan ini?”
“Hah?” ia malah balik bertanya dengan wajah bodoh. “Oh~will you be with me? Can we live together from now on?”
Aku segera memahami maksudnya. Kuanggukan kepalaku dengan mantap. “Yes I will and I’m sure we can!”
“May I kiss you?” caranya yang berbeda, dan perkataannya kali ini membuatku luluh. Aku mengangguk dan membiarkan ia menciumku. Aku membalas ciumannya cepat.
“Trims HoAegi, saranghae, eonjekkaji, yeongwonhi…” ujarnya saat ia melepas tautan bibir kami.
“Nado saranghae DinoWoo…” aku mengecup bibirnya singkat dan memeluknya erat. “Memilikimu adalah hadiah terindah sepanjang hidup ini…”
“Kebahagiaan bersamamu adalah obat paling ampuh bagiku, HoAegi…”
***
Aku mengucek mataku, tak percaya dengan pemandangan di depanku. Seorang namja berdiri dengan gagahnya dalam balutan tuxedo abu-abu. “D…DinoWoo?”
“Ne, HoAegi, siapa lagi?” jawabnya penuh percaya diri.
“Heuk-heuk-heuk, benar juga sih.” Aku mengakuinya diiringi tawa paksaan. “Tapi kenapa pakaianmu seperti ini?”
Ia tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku, tapi sedetik kemudian wajahnya kembali netral. “Oh, ini… Aku mau pergi.”
“Tidak ikut olimpiade?” tanyaku heran. Ia menggeleng. “Ah~kau akan kehilangan kesempatan, DinoWoo Sayang!”
“Aku tau… Tapi doakan saja aku sempat melihatmu menang…”
“Aku tidak akan mengangkat piala kalau kau tidak ada bersamaku, DinoWoo…” aku memeluknya erat dan ia melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Aku akan pergi, tapi HoAegi, percayalah. Cintaku selalu ada bersamamu…” tanganku mulai bergerak naik, merengkuh tengkuknya dan mencium bibirnya lama. “Annyeong HoAegi, sampai jumpa di lain waktu…” gumamnya di sela ciuman kami. Perlahan, tubuhnya menghilang. Yang aku rasakan hanya kehangatan angin musim semi yang menerpa wajahku.
“DinoWoo… Jang Dongwoo… Neon eodiga…?!” pekikku dengan suara serak. Aku menghela nafas, putus asa. “Arrasseo, Dongwoo-ah, semoga kau bahagia di sana, saranghae, eonjekkaji, yeongwonhi…” suaraku makin hilang, berganti isak tangis kehilangan.
“Uljima, Lee Hoya… Aku masih di dekatmu, jadi jangan tangisi aku, arra?” suara itu… Rasanya sekarang suara itu memekakan telinga.
“DinoWoo~!”
***
“Yah, HoAegi, kenapa kau teriak begitu? Aku di sini Sayang~apa kau tak mau bangun dan memeluk namjachingu-mu?” seseorang—yang pasti namja, dari suaranya—menepuk pipiku.
“Isssh… Diamlah~aku masih ngantuk!” aku menarik selimut dan membalikan badanku. Tapi dengan cepat orang itu memutarbalik tubuhku yang menghadap tembok.
“Eo? Kalau begitu, ini morning kiss terakhir, dan kita putus!” makin lama aku mengenal suaranya. Aku hampir menyebut namanya keras-keras, tapi aku masih kalah cepat dengan gerakan namja itu. Ia mencium bibirku lembut, mengesankan perasaan cinta yang tulus.
“Ah-andwe, DinoWoo… Aku tak ingin kehilanganmu… Tteonajima,” gumamku di sela kesibukan kami—saling melumat bibir.
Berapa menit berselang, ia memutus tautan bibir kami. “Apa yang kau katakan, HoAegi? Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian~dan kau bisa pegang janjiku!” ia menarik tanganku agar aku bangun kemudian merengkuh pinggangku dan memelukku erat. Aku juga mengalungkan tanganku di tengkuknya, tersenyum saat ia membelai kepalaku dengan lembut—penuh cinta.
“Nan danggunji (yakin)… Mimpi aneh tadi tidak akan terjadi pada Dino tersayangku~”
“Hah? Jadi karena mimpi, kau takut kehilangan aku?”
“Ne…”
“Itu kan cuma mimpi, HoAegi…” ujarnya kalem sambil mengelus kepalaku lagi. “But, yeah~itu terserah padamu untuk percaya yang mana—aku atau mimpi itu!”
Aku diam. Yang mana? Aku lebih percaya pada orang yang kucintai. “Dino-reul mideo. Saranghae, DinoWoo…” bisikku di telinga namja itu.
“Emm, HoAegi… Kau ingat tidak, ini hari apa?” ia sudah melepaskan pelukannya. Aku mengikutinya dan menggeleng sambil berpikir.
“Ehm… Ya Tuhan, DinoWoo! Kita akan kembali bersaing~kau ikut olimpiade hari ini kan?” tanyaku sesaat setelah aku ingat.
“Aku ikut. Aaaah~di hari sebahagia ini kita harus bersaing demi tropi juara tingkat Gyeonggi-do, ya?”
“Itu kan menarik!” balasku. Aku menciumnya singkat, maksudnya sebagai penyemangat. Tapi ia malah melumat bibirku cukup lama dan membuatku hanyut dalam arus elektron(?) cinta pada tubuh kami.
“Saranghae, eonjekkaji, yeongwonhi…” kata itu seakan sudah menjadi sumpelan setiap saat kami ingin.
“Dan, happy first month, HoAegi…” tambah Dongwoo lalu mulai menguasai mulutku lagi.
“Happy first month DinoWoo… Aku berharap kita langgeng, sampai maut memisahkan~”
Aku kembali diam dan membiarkan angin musim semi membawa harapan kami ke suatu tempat. “Sebaiknya kau bersiaplah, HoAegi, lalu kita sarapan untuk kemudian berangkat ke Incheon Stadium…” nasehatnya sambil mendorongku lembut ke kamar mandi.
“Arra, DinoWoo… Kau tidak keberatan kan, kalau kau yang mengantarku?” dari dalam aku bertanya.
“Aniya~aku juga memang berencana mengantarmu~sudah, cepat mandi!” ia semakin mengomel saat suaraku masih terdengar.
***
“Jang Dongwoo, fighting!!!”
Aku mendengar sorakan untuk namjachingu-ku itu sangat ramai. Agaknya tribun akan lebih ramai lagi saat ia menang, karena kami sudah overlap dan garis finish sudah 10  meter di depan namja itu.
Bluk.
Dongwoo… Jatuh?
Aku mempercepat lariku dan memastikan dia tak apa-apa.
“DinoWoo… Come on, Dude. Kau hampir menang!” aku mengulurkan tanganku, menyemangatinya.
“T-tapi, HoAegi… Kaulah yang pantas… Uh—untuk tropi itu… Dan bukan orang… Semacam aku ini…” ucapnya terbata. Aku tak merasakan secercah harapan pun hinggap di dalamnya.
“DinoWoo…”
“HoAegi, kita sudah overlap. Kau… Harus terus berlari… Buktikan… Bahwa kau mencintaiku… Kau tak perlu mengangkat tropi itu… Tapi menangkanlah… Demi aku… Happy first month HoAegi…”
“DinoWoo…!”
“Aku tidak akan pergi… Menangkanlah HoAegi…”
Aku mencium bibirnya singkat. “Baiklah. Ini semua untuk DinoWoo.” Aku mengepalkan tangan, menguatkan tekad. “Semoga kau lekas baikan!” aku berdiri tepat saat paramedis datang dengan tandu. Sekilas aku melihatnya tersenyum, menyemangatiku, menguatkan aku untuk meneruskan perjuangannya. Aku berlari, dan terus berlari, memotong pita di garis finish dengan perasaan bangga berlipat-lipat.
***
“Hojae Hyung, Hojun Kecilku, Nam Woohyun Sonbae, dan… DinoWoo-ku yang terkasih… Ini untuk kalian!” ucapku saat diminta menyampaikan sambutan.
Aku mengangkat tropi itu saat melihat orang-orang tercintaku tersenyum. Termasuk Dongwoo yang memakai kursi roda, didorong oleh seorang noona. “Aku bangga pada kalian, aku cinta kalian, terlebih Dongwoo-ah yang merupakan kekasih terbaik, hadiah terindah, dan rival yang paling kusayangi. Tanpa kalian, aku tidak akan berdiri di sini…” pandanganku mengabur, tapi aku mengerjapkan mataku cepat. “Thank God, thanks every factors…”
***
Noona yang bersama Dongwoo tadi—ternyata itu kakak Dongwoo—memberi kunci mobil Dongwoo padaku.
“Bawalah, Hoya-ah… Dongwoo yang memintanya…”
“Eh, Noona…?” aku menerima kunci itu dengan heran. “Ar…arraseo…”
“Trims sudah menjaga Dongwoo selama ini… Aku tau, kalian baru resmi berpacaran sebulan lalu. Tapi adikku sering bercerita bagaimana ia memendam perasaan padamu, sampai malam itu dia memberimu kejutan. Dia bilang, kau adalah cinta pertama dan terakhirnya, dan dia ingin menciptakan memoar bahagia dengan orang yang dicintainya. Sebenarnya… Dia adalah pengidap kanker jaringan lunak, dan sekarang sudah stadium akhir… Aku takut adikku tak punya harapan hidup lagi…” dengan tabah, noona Dongwoo menjelaskan semuanya padaku. Ia tak menangis—bayangkan, seorang noona yang mengurus adiknya saja tidak menangis. Kata Dongwoo benar, aku tak perlu menangisinya—tapi aku tak mampu.
“Noona, aku ingin bertemu dengan Dongwoo…” pintaku. Gestur noona itu memintaku untuk mengikutinya. Aku berjalan di belakang noona-nya Dongwoo sambil membawa tropi tadi.
***
“Lihat kan, aku sudah mengangkat tropi. Nan neoreul jeongmal saranghae, DinoWoo…”
Aku memeluknya erat. Tubuh yang (ternyata) kurus itu diam, mematung.
“Dongwoo-ah, noona-mu sudah bercerita banyak tentang kau. Kau tidak mungkin menciptakan memoar bahagia saat kau buat orang lain bahagia sementara kau menyiksa dirimu sendiri. Tapi, semua sudah terjadi. Aku harap kau… Mmmh…” belum habis kalimatku ke ujung, ia mencium dan melumat bibirku cepat. Aku balas melumat lembut bibirnya—yang sekarang jelas tampak pucat itu. Kami menikmati ciuman ini sampai mata kami ikut terpejam—tapi mataku basah.
“Cukuplah kau berharap aku bahagia setelah ini…” gumamnya sambil masih menciumku. Aku diam, tak mau menjawab. Butiran air mataku yang menjawabnya. Aku terus memperdalam ciumanku sampai aku merasa bibir tebal itu dingin. Tanganku—yang bersentuhan dengan tangannya—juga merasakan hal serupa.
“DinoWoo…” air mataku mulai meleleh, melunturkan wajah bangga dan penuh cinta pada Jang Dongwoo.
Aku menekan bell, memanggil uisa untuk memeriksanya. Hasilnya? Kekasih sekaligus rivalku itu sudah berangkat ke alam baru.
“Aku pergi dulu, Lee Hoya… annyeong, jaga dirimu dan jangan tangisi aku, arra?” suara itu—entah dari mana datangnya, tapi yang pasti, sekarang terdengar memekakan telinga. “Aku tidak akan pergi jauh, kok! Cintaku masih bersamamu… aku ingin kau bahagia, jadi, uljima… dan carilah kekasih lain yang bisa membuatmu selalu semangat dan tersenyum setiap saat. Kau bersedia, kan?”
Suara itu terus mengucapkan hal-hal baik untukku. Tapi rasanya suara itu merusak saraf-sarafku, membuat otakku terus memerintahku untuk menangis.
“Baiklah DinoWoo Sayangku… semoga kau bahagia di sana, dan terima kasih untuk sebulan yang indah ini… aku selalu mencintaimu!” bisikku di telinganya. Aku tau, ia tak mungkin dengar—apalagi bangun kembali. Tapi aku tau, angin musim semi mengantar harapanku ke tempat ia berada sekarang.
***FIN***
Haaaaaah*_* gimana menurut kalian? Acakadul ya? Duh, miaaaan~nggak bisa ngasih poster lagi~T.T (itu cuma pic yang nempel dengan sendirinya[?] di situ *apa dah* yang pasti itu cuma gambar buat ngeramein aja =_=) tau deh, persetan soal poster~~yang penting makasih buat yang udah baca, kritik dan saran bisa dikasih di kolom komen untuk memperbaiki ff Author selanjutnya!! Bubbay~*pamit//ngilang*